Saturday 20 March 2010

MEDIA MUDA NUSANTARA : Pangeran Diponegoro : Seorang Bangsawan Jawa Yang Merakyat, Arsitek dan Sastrawan ( Historical Java Land )

I.  Pendahuluan     
     Banyak tulisan tentang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830 telah dibuat, baik oleh  penulis asing maupun domestik. Namun demikian, ibarat mata air dia tak ada habis-habisnya untuk ditimba. Kajian tentangnya terus mengalir dan nampaknya tidak akan pernah tuntas.  Kenyataannya memang masih banyak aspek yang terkait dengan tokoh tersebut yang belum  terungkap.
      Sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwono (HB) III, raja kasultanan Jogyakarta Hadiningrat, Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan formal dengan kraton. Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran  dia tetap mendapat didikan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual kraton, tata cara, perilaku dan  tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan. Yang tidak kalah pentingnya ialah pendalamannya terhadap kesusasteraan, filsafat Jawa dan kesenian, khususnya seni musik (gamelan, tembang) dan seni pedalangan.
       Begitu kompleksnya permasalahan di seputar kehidupan Diponegoro, tulisan ini akan mencoba menyorotinya sebagai seorang bangsawan Jawa, yang memiliki bakat dalam dunia arsitektur sekaligus sastrawan.

II.  Figur Diponegoro

       Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan  HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi).  Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan  putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat  makam keramat Tembayat (Carey, 1991:2). Dalam naskah lain Carrey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74).
      Sagimun MD. memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang  Bupati yang konon masih berdarah Madura (Sagimun, 1986:36).  R. Tanojo dalam  Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu  tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat  dari Tunjung Madura (Tanojo, t.t:4).
      Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum’at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991:1). 1)  Pada tahun 1805  Sultan HB II mengganti namanya  menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya  sejak  tahun 1812  ketika ayahnya naik takhta.  2)
___________________
     1)Mengenai kelahiran Diponegoro tersebut masih menjadi tanda tanya, karena jika diteliti,  tahun 1785 ternyata berwindu Langkir, sedangkan menurut naskah babad windunya Kulawu. Bila berdasarkan windu Kulawu, maka kelahirannya jatuh tahun 1704 Jawa atau 6 Pebruari 1787. Ann Kumar bahkan menyebut tahun 1787 dengan tanda tanya (?) besar (Hardjonagoro, 1990:34). Menurut kepercayaan Jawa, seseorang yang lahir dengan hari dan pasaran (Jawa:neptu) Jum’at Wage biasanya pandai berbicara, penampilannya menarik, wataknya berbudi (watak pendeta) dan sering bertengkar. Dalam hidupnya dia akan menghadapi tantangan berat karena sifatnya yang suka terus terang dan suka berdebat. Dalam pandangan Jawa, bulan Maharram atau Sura memiliki arti tersendiri, karena bulan pertama dari tahun Jawa itu biasanya dipakai untuk mendirikan kraton baru atau penobatan raja. Tahun kelahiran Diponegoro yang jatuh pada tahun 1200 Hijrah juga memiliki arti tersendiri, karena menurut Ramalan Jayabaya merupakan saat-saat munculnya Ratu Adil.
      2)Nama Diponegoro mengingatkan orang pada seorang tokoh dalam Babad Tanah Jawi. yakni Raden Mas Sungkawa, putra Sunan Paku Buwono I  (1704-1719) dari Surakarta,  yang juga bergelar Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1718 dia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur bersama Tumenggung Jayapuspita. Setelah berhasil menguasai daerah di sebelah timur Gunung Lawu sampai Blambangan,  dia lalu mengangkat dirinya menjadiPanembahan Herucokro Senopati ing Ngalogo Ngabdur-Rakhman Sahidin Panatagama. Di masa Sunan Amangkurat I (1719-1727)   istananya pindah dari Madiun ke Padonan, dekat Sukowati. Ketika ditinggalkan saudara-saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, istananya pindah ke Semanggi, sampai akhirnya pada tahun 1723 dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanjung Harapan (Olthof, 1941:323-333; Yamin, 1952:22-23).
       
     Walaupun Pangeran Diponegoro putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok kraton, di lingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu Ageng (janda mendiang Sultan HB I).  Dalam naskah babad dikisahkan : beberapa hari  setelah Diponegoro lahir, Sultan HB I  minta pada isterinya untuk melihat cicitnya tersebut.  Sambil mengamati bayi di pangkuannya Sultan HB I  berkata : bahwa kelak anak tersebut akan menjadi tokoh yang jauh lebih besar dari dirinya, dan akan menimbulkan kerusakan besar pada Belanda  Selanjutnya Sultan minta agar isterinya merawat sendiri bayi tersebut (Carrey, 1991:2). 
      Sepeninggal suaminya, Ratu Ageng membawa cicitnya ke kediamannya di Tegalrejo, sebuah desa terpencil beberapa kilometer di arah brat daya istana Jogyakarta. Di sanalah Diponegoro dibesarkan dan dididik sebagai layaknya bangsawan  Jawa, sekaligus seorang santri yang taat beragama.
        Banyak penulis mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari Diponegoro banyak mencontoh dan mengikuti sifat serta perilaku Nabi. Hidupnya amat bersahaja, baik dalam cara berpakaian, makan maupun pergaulannya dengan orang kecil. Dikisahkan dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Dia sering bergabung dengan santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu dia juga suka mengembara, masuk ke luar hutan dan tinggal di gua-gua untuk bertapa (chalwat).      
      Cara hidup demikian ini nampaknya menjadi pola umum  yang berlaku di kalangan pemuda di masa itu. Dikarenakan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB II masyarakat Jogyakarta masih diliputi oleh eforia kemenangan perang Mangukubumi. maka upaya memperdalam ilmu kanuragan, ketrampilan bermain senjata, menunggang kuda, juga landasan laku batin, seperti tirakat, puasa, bertapa di gua keramat mendapat tempat khusus di kalangan anak muda. Sesuai dengan  situasi dan kondisi jamannya, Diponegoro muda  tentunya juga  tidak terlepas dari kebiasaan yang berlaku saat itu.  3)
_________________
     3)Waktu itu di kalangan bangsa Jawa masih mementingkan adanya olah (Jawa:laku) batin (tapa brata) yang sifatnya asketis, seperti : menahan lapar, makan seadanya itupun tidak sampai kenyang, mengurangi tidur, puasa,  pantang makan dan lain-lain. Beberapa

      Masa-masa selepas perang Mangkubumi  dapat dikatakan merupakan jaman pembangunan. Para alim ulama,  kyahi, guru-guru agama memperoleh kesempatan untuk kembali meluaskan pengajaran agama.  Pondok-pondok pesantren, dan tempat mengaji Al Qur’an  dan kitab-kitab agama bermunculan di berbagai tempat. Ada alim ulama dan kyahi yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, mulai syariat, tarekat, hakekat hingga ma’rifat, namun ada pula yang melengkapinya dengan ulah kanuragan dan lain-lain. Anak-anak muda dari berbagai daerahpun berduyun-duyun memasuki pondok-pondok pesantren untuk memperdalam ilmu agama. Orang banyak yang menjalankan  rukun Islam, walaupun sekedar ikut-ikutan (Jawa:anut grubyug). Mereka mengucapkan kalimat syahadat, menjalani sholat lima waktu, membayar zakat, juga berpuasa di bulan Romadlon, namun untuk berangkat haji ke Mekah baru sedikit yang bisa menjalaniya.  Nampaknya  saat itu  di Jawa sedang terjadi kebangkitan dalam kehidupan beragama dan Diponegoropun tidak terlepas dari perkembangan situasi dan kondisi jamannya. 
       Dalam hal agama, Kanjeng Ratu Ageng tentunya tidak akan begitu saja  menyerahkan  Diponegoro kecil mengaji kepada sembarang orang. Sewaktu masih kecil  dan belum dapat pergi jauh meninggalkan rumah, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi : pertama, dia diajar sendiri oleh nenek buyutnya atau kedua, belajar mengaji pada guru agama setempat. Namun sejalan dengan bertambahnya usia  maka diapun diserahkan pada seorang guru (ulama) yang sebenarnya.
_____________________
jenis puasa (Jawa:pasa) antara lain : puasa neton (puasa hari kelahiran), pasa Senin dan Kamis, pasa kudup mlati (makan hanya setiap jam 02.00), pasa mutih (makan nasi tanpa lauk dan minumnya hanya air tawar), pasa nglowong (tidak makan dan tidak minum), ngebleng atau pati geni (tinggal dalam kamar gelap, tanpa makan dan minum selama berhari-hari), ngaluwat (masuk di lubang galian, di atasnya ditutup dengan dedaunan tanpa makan dan minum). Beberapa pantang makan (Jawa:sesirik) diantaranya : pantang makan padi-padian yang di masak dengan cara dikukus (Jawa:wohing dami kinukus),  pantang garam,  pantang ikan yang bernafas, ngrowot (hanya makan umbi-umbian). Amalan lain, misalnya tidak tidur selama sehari semalam atau lebih, kungkum (berendam di sungai pada malam hari), memandang lama-lama ke arah matahari sedang terbit, mbisu (berjalan tanpa berbicara/bercakap-cakap), berkelana,  berjalan-jalan di lumpur atau batu-batuan, naik gunung turun jurang atau bukit dan lembah, menyeberangi sungai,  menahan hujan, panas, angin dan sebagainya. Laku  yang terkait dengan tidur antara lain :   menahan kantuk, mengurangi waktu tidur, tidur di sembarang tempat, naritis (tidur di bawah cucuran atap, tidur beralaskan anyaman bambu (Jawa:kepang) berbantalkan sepotong batu bata, tidur tanpa baju, tidur dengan kaki tidak diselimuti dan lain-lain. 
      Banyak orang meyakini bahwa guru agama Diponegoro adalah Kyahi Taptajani, ulama besar keturunan Kyahi Nuriman dari pesantren Mlangi. Yang cukup menarik ialah  pernyataan Suwarno Adinoto dalam bukunya Menyingkap Perlawanan T. Prawiro-digdoyo : Sawung Gagatan. Dikatakan bahwa Raden Mas Ontowiryo alias Pangeran Diponegoro adalah saudara seperguruan  Yudo, cucu Ngabehi Prawirosakti dari Gagatan. Mereka sama-sama pernah menjadi  murid Syeh Kaliko Jipang, di pondok pesantren Petingan, di sebelah utara Jogyakarta. Usia Ontowiryo waktu itu baru delapan tahun, sedangkan Yudo lima tahun lebih tua.
      Kalau itu benar,  siapakah sebenarnya tokoh Syeh Kaliko Jipang, sehingga dia dipercaya oleh Ratu Ageng untuk mendidik Ontowiryo  ?  Dalam naskah dikatakan bahwa nama aslinya adalah Syeh Kholik, namun oleh Pangeran Mangkubumi namanya diganti menjadi Syekh Kaliko. Karena dia berasal dari Jipang, sehingga nama Jipang melekat pada namanya.. Baik Ngabehi Prawirosakti maupun Syekh Kholik, keduanya merupakan orang kepercayaan Pangeran Mangkubumi. Ketika Kasultanan Jogyakarta terbentuk, Syekh Kholik diangkat menjadi Penghulu Besar kraton. Setelah pensiun kedudukannya digantikan oleh anak laki-laki satu-satunya, yakni Syeh Rahmanudin. Selanjutnya dia mendirikan pondok pesantren  Petingan. RM. Ontowiryo sempat belajar kepadanya selama lima tahun, hingga ulama besar itu wafat di usia 80 tahun.   
      Apabila Diponegoro baru masuk pondok pesantren di usia delapan tahun,  berarti dia baru mulai berguru pada Syekh Kaliko Jipang pada tahun 1893.  Bila dia sempat berguru
______________

      4)Menurut silsilah trah gagatan, Yudo adalah putra Raden Surotaruno III, cucu Ngabehi Prawirosakti (Adimenggolo) dari Gagatan, Boyolali. Ibunya, Raden Ayu Surotaruna adalah putri Adipati Notokusumo (Pangeran Juru), patih kerajaan Surakarta  yang dibuang Belanda ke Ceylon. Sejak kecil Yudo diasuh oleh kakeknya, yakni Ngabehi Prawirosakti. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan Jogyakarta. Dua saudara seperguruan itu ternyata memiliki keistimewaan yang berbeda. Yudo  mewarisi pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, sedangkan Diponegoro lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat secara mendalam. Yudo, nantinya menjadi Bupati Pamajegan di Gagatan, bergelar Tumenggung Prawirodigdoyo. Walaupun daerahnya termasuk wilayah Surakarta, namun dia  berjuang di pihak Diponegoro hingga gugur dalam peperangan. Jenasah Syekh Kaliko dan Tumenggung Prawirodigdoyo dimakamkan di Blunyah Gedhe, di sebelah utara Jogyakarta (Suwarno Adinoto, 1985:12-14).
selama lima tahun, maka  Syekh Kaliko wafat di tahun 1898. Selanjutnya Ratu Ageng mengirim dia ke Pondok Pesantren Mlangi, di bawah asuhan Kyahi  Taptajani.  Di sini dia juga  hanya sempat belajar selama kurang lebih lima tahun, karena pada tahun 1803  Ratu Ageng wafat. Sebagai pewaris tanah lungguh Tegalrejo, dalam usia delapan belas dia harus melanjutkan tugas nenek buyutnya mengatur daerahnya. Tahun 1805 Kyahi Taptajani pindah ke Surakarta, namun agaknya hubungan antara guru dan murid itu terus berlanjut.   5)         
      Di masa-masa berikutnya Diponegoro tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan perbincangan agama.   Selain keluar  masuk berbagai pondok pesantren dengan cara menyamar,  dia juga  banyak berjumpa dengan sejumlah ulama  terkemuka di Jogya-karta, seperti Muhammad Bahwi, penghulu utama kraton, Haji Baharudin, komandan pasukan Suronatan, Kyahi Kasongan, Kyahi Papringan, bahkan dengan Kyahi  Baderan, ayah Kyahi Mojo, dari Klaten dan lain-lain.

III.  Bangsawan Jawa yang  seorang arsitek     
       Sebagai seorang aristokrat  Jawa yang hidup di masa feodal, maka gaya hidup Pangeran Diponegoro tidak terlepas dari situasi jamannya. Dalam pandangan masyarakat Jawa masa itu seorang laki-laki baru dikatakan sebagai laki-laki sejati  apabila berhasil memenuhi kriteria tertentu, yang terwujud  pada adanya lima kepemilikan,  yaitu  :    wisma (rumah), wanodya (wanita), curiga (keris), turangga (kuda) dan kukila (burung, yang dimaksud adalah perkutut).  Tidak adanya salah satu unsur membuat orang belim dapat dikatakan sebagai laki-laki Jawa yang sebenarnya.  Pandangan itu benar-benar
____________________    
    
      5)Kyahi Bagus Taptajani adalah ulama yang dekat dengan bangsawan kraton Surakarta dan Jogyakarta. Dia adalah keturunan Kyahi Mlangi, Kyahi Nur Iman, pemilik tanah perdikan Mlangi. Perdikan Mlangi merupakan salah satu pathok negara kasultanan Jogyakarta, di samping masjid Ploso Kuning, Dongkelan dan Babadan. Kyahi Mlangi  adalah putra  Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi) dari ibu, putri Kyahi Gedangan, Sidoarjo, Jawa Timur. Menjelang pecah Perang Jawa, Kyahi ini datang menemui Diponegoro di Tegalrejo dan mewartakan mengenai saat munculnya Ratu Adil dan perang sabil. Kedekatan dengan ulama besar tersebut menjadi jaminan bagi Diponegoro saat dia minta dukungan dari kalangan ulama dan santri kerabat Kyahi Maja dan Badheran, Pulo Kadang, ulama-ulama Pajang, Madiun, Kedu, Bagelen dan Pacitan (Carrey, 1991:6). 
merasuki  dunia kehidupan bangsa Jawa kala itu, dalam aspek tertentu bahkan amat berlebihan.  Misalnya pemahaman tentang wanodya (wanita) bukan dalam pengertian  ”satu” isteri,  tetapi lebih dari itu. Dari sini kemudian muncul istilah ”klangenan  yang konotasinya adalah ”selir” atau bahkan  ”gundik”. Akibatnya poligami dan pergundikan bukan lagi sesuatu yang tabu. Sebaliknya justeru menjadi ukuran keberhasilan ataupun prestise bagi seorang laki-laki.     
      Sepanjang hidupnya, tercatat ada tujuh wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1894 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta. Kedua, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri  Raden Tumenggung  Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto  maupun Retnodewati wafat sewaktu  Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
      Isteri Keempat, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton.l 18 Pebruari 1828. Kelima, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Keenam,  R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan, dan ketujuh, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan (Babad, P. XIX, b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769). 6)
_____________________
      6)Mengenai isteri-isteri Diponegoro ada beberapa versi. Babad versi biografi menyebut isteri Diponegoro ada tujuh, sama dengan versi Carey, sementara R. Tanojo menyebut ada delapan orang. Apabila Carey mengatakan bahwa isteri terakhir RA. Retnakumala adalah putri Guru Kasongan, maka Tanojo berpendapat bahwa putri Guru Kasongan tersebut adalah tokoh yang lain dan itu merupakan isteri ke delapan, tetapi dia tidak menyebut namanya. R.A. Retnaningrum dinikahi Diponegoro atas saran isterinya, yakni Kanjeng  Ratu Kedaton, yang waktu itu tengah hamil muda dan sakit-sakitan. Sedangkan RA Retnaningsih dan Retnakumala dinikahi dua bulan setelah Kanjeng Ratu Kedaton wafat  pada tanggal 28 Pebruari 1828. Dari perkawinan tersebut lahir beberapa putra dan putri, yaitu Raden Antawirya II (1803) yang nantinya dikenal sebagai Raden Adipati, Raden Suryaatmaja (1807), R.M. Joned (1815), R.A. Basah (isteri Basah Mertonegoro), Raden Dipaatmaja (1805), R.A. Jayakusuma, R.A. Impun, R.A. Muntheng
       Dalam hal wisma, sebagai pewaris seluruh kekayaan Kanjeng Ratu Ageng, maka Diponegoro mewarisi rumah peninggalan nenek buyutnya di Tegalrejo.  Gambaran tentang ”istana”  Tegalrejo tersirat dari kesaksian pendeta H.A. Brumund, yang datang di sana selang beberapa hari setelah invasi tentara Belanda  bulan Juli 1825.  Begitu melihat puing-puing reruntuhan bangunan, dengan nada kagum diapun berkata   :  
      ”Saya tidak tahu suatu rumah pangeran di Jogya yang cukup untuk dibandingkan
        dengan rumah Diponegoro di Tegalrejo. Rumah pangeran-pangeran di Jogya seka-
        rang dibuat dari kayu dan kelihatan kecil dan pendek. Rumah Diponegoro adalah
        luas, besar dan seluruhnya dibangun dari bata. Di kedua sisinya ada deretan bangun-
        an rumah yang tidak kalah besarnya. Di sana teman-teman Diponegoro ditampung
        dan para ulama  yang datang mengunjungi beliau. Juga ada gudang-gudang untuk
        beras dan hasil-hasil tanah Tegalrejo, dan ada perumahan dimana anak buahnya
        tinggal” (Carey, 1991:5).
      
Dari pernyataan tersebut terkesan bahwa ”istana” Tegalrejo tergolong mewah dibanding  rumah kediaman para pangeran Jogya yang lain waktu itu. Selain rumah induk, di sana ada rumah-rumah khusus untuk para tamu yang bermalam, juga lumbung padi, gudang istal dan dikitari rumah para magersari.
      Di bawah kepemimpinan Diponegoro, Tegalrejo berkembang pesat, jauh melebihi jamannya Kanjeng Ratu Ageng. Jumlah penduduk terus bertambah, begitu pula orang yang menjalankan ibadah agamanya. Banyak gedung dibuat, sementara bangunan yang lama telah berganti bentuk (R. Tanojo, t.t:45).  Dalam Babad versi biografi dikatakan bahwa Diponegoro sangat memperhatikan pengaturan pohon-pohon dan kolam,  juga banyak memelihara binatang kesayangan, yakni kuda dan  burung perkutut. Dalam skala lebih kecil nampaknya Diponegoro mewarisi bakat kakek buyutnya, yakni Sultan HB I yang merencanakan sendiri tata ruang serta rancang bangun untuk  istananya.
         Dari pengamatan di lapangan dapat diperkirakan bahwa luas seluruh kompleks istana Tegalrejo termasuk alun-alun kecil di depannya ada sekitar 2 Ha.  Rumah induk
___________________
(R.A. Gusti), R.M. Kindar (1833), R.M. Sarkuma (1834), R.M. Mutawaridin (1835), R.A. Putri Munadima (1836), R.M. Dulkabli (1836), R.M. Rajab dan R.M. Ramaji. Di kalangan tradisi bangsawan Jawa, panggilan ”ibu” hanya berlaku bagi permaisuri (Jawa:garwa padmi) sebutan ibu, sedangkan untuk para selir, walaupun kepada ibu kandungnya sendiri anak-anak  memangggilnya dengan sebutan ”bibi”. 

menghadap ke selatan, dan di depannya terdapat alun-alun kecil yang tepinya ditumbuhi jajaran pohon beringin. Kompleks istana dilindungi dengan tembok (Jawa:pagar bumi) yang cukup tebal, setinggi hampir 3 meter. Pagar bumi bagian depan lebih rendah sehingga bangunan induk dan lain-lain terlihat dari luar. Di tengahnya terdapat pintu gerbang (Jawa:regol) yang diberi atap, yang nampaknya hanya dibuka pada saat-saat khusus, sementara untuk kegiatan sehari-hari tersedia pintu masuk berukuran kecil di samping kanan dan kiri gerbang utama.  Antara  pintu gerbang  dengan  pendopo terdapat jalan  lurus, yang kanan kirinya ditumbuhi tanaman pohon sawo kecik. Di depan pendopo, agak ke menyamping kiri dan kanan,  masing-masing tumbuh sebatang pohon manggis.  Halaman belakang juga cukup luas dan ditumbuhi oleh pepohonan yang rindang, sehingga suasana terasa sejuk dan nyaman.   
      Menurut  kesaksian penjaga Museum Sasana Wiratama, Tegalrejo,  bangunan pendo-po yang ada sekarang, bukanlah bangunan asli. Bangunan aslinya, selain ukurannya lebih kecil, letaknya juga agak mundur ke belakang. Adanya hiasan berupa  batu yoni yang ditempatkan berjajar di samping kiri dan kanan  pendopo,  keberadaannya menjadi tanda tanya besar. Apakah batu-batu itu sudah ada sejak dulu atau  baru ditempatkan kemudian ketika monumen dipugar, sayangnya tidak ada penjelasan yang pasti (Slamet, wawancara  tanggal 23 September 2009). 6)
       Dari tatanan bangunan dan taman di ”istana” Tegalrejo membuktikan bahwa  Diponegoro cukup memiliki bakat sebagai  seorang ”arsitek”. Selain  Tegalrejo masih ada beberapa situs lain yang semuanya  merupakan hasil rancang bangunnya.      
      Dalam Babad versi biografi disebutkan bahwa tidak jauh dari istana Tegalrejo, yakni di Seloharjo yang letaknya ada di tepi  Sungai Winongo, Diponegoro juga membangun sebuah panepen  tempat untuk bersamadi (berchalwat).  Di sana terdapat gedung  indah
______________________
      6)Yoni, yang biasanya dipasangkan dengan lingga dalam konteks budaya Hindu, dengan motif dan ukuran yang serupa juga  terdapat  di Selarong, yakni di dekat  Gua Kakung  dan  lokasi bekas masjid. Masyarakat setempat menganggapnya sebagai batu umpak masjid.  Mungkinkah Diponegoro membawa pulang sebagian yoni yang ada di Selarong untuk menghias halaman rumahnya di Tegalrejo ? Kemungkinan itu bisa saja terjadi mengingat dia pemilik tanah Selarong, sehingga dia memiliki otoritas penuh atasnya.  Namun semua itu baru merupakan dugaan, yang tentunya perlu penelitian lebih lanjut, yang lebih mendalam.            

yang dilengkapi dengan serambi depan, tempat dia menerima tamu. Selain itu ada  pulau surau (Jawa:langgar) kecil, kolam dan taman. Di depan gedung ada sebuah batu datar (Jawa:sela gilang) yang dinaungi oleh pohon kemuning yang daunnya begitu rembun. Di tempat inilah Diponegoro biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi oleh kolam. Di tengah kolam dibuat semacam ”pulau” kecil yang ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Di kolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat ikan dari berbagai jenis (Babad,  P.VII:b. 40-42). 
      Karya besar Diponegoro dalam dunia arsitektur terlihat pada situs Selarong, yang lokasinya ada di barat daya  kraton, di sebelah selatan pesanggrahan Ambarketawang (kraton sementara Sultan HB I, saat menunggu istananya  selesai dibangun).
      Mengapa Diponegoro tertarik untuk membangun  pesanggrahan di sana ?  Selain tanahnya tandus, pemandangan di sekitarnya juga kurang menarik, dari Tegalrejo jaraknyapun cukup jauh, kurang lebih ada 15 kilometer ke arah Bantul.  Tidak terbayangkan bagaimana dia dan orang-orangnya harus bersusah payah, menempuh perjalanan yang cukup jauh dan sulit, melewati jalan-jalan desa yang kondisinya waktu itu belum begitu baik. Padahal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, dia bisa saja memilih lokasi lain yang letaknya lebih strategis dan kondisinya jauh lebih baik. Tetapi mengapa dia  memilih Selarong ?   Ada apa dengan Selarong  ?  Kenyataannya di sanalah dia mendirikan pesanggrahan 7)
      Dalam Babad Diponegoro versi Kraton Surakarta dikatakan : bukit Selarong diatur dengan indah. Puncak bukit diratakan dan parit-parit dibuat di lereng-lerengnya. Dua parit dibuat berjajar lurus untuk mengalirkan air ke sawah-sawah petani. Situasinya seperti kota. Pintu gerbang pesanggrahan ada tiga lapis, di depannya terdapat alun-alun . Di sebelah timur laut bukit Selarong terdapat gua yang cukup besar, namanya Gua Secang.  Di depan mulut gua dibangun  sebuah taman, ditanami   pohon durian, manggis,
___________________
      7)Berdasarkan pengamatan di lapangan,  nampaknya Selarong merupakan pemukiman kuno. Di sana banyak dijumpai peninggalan Hindu berupa  yoni, bekas batu fondasi berornamen dan juga batu datar (Jawa:sela gilang) yang saat ini dijadikan landasan saat orang mengambil air di sendang.  Mungkinkah dengan kemampuan mata batinnya Diponegoro melihat ada suatu  hal yang istimewa dari Selarong, sehingga dia berkeras hati  membangun pesanggrahan di sana.

buah krian, duku, langsep, kokosan, jambu, jeruk, kepundung, mundu, cerme, sentul dan jambe, yang saat itu sedang berbuah lebat.  Pohon kelapa gading, diletakkan di tempat yang agak jauh. Dekat mulut gua ditanam pohon biji-bijian (Jawa:pala kasimpar), seperti jagung, cantel, juwawut, jarak dan jagung jali, nanas lumut dan nanas merah. Cabai dan terong buahnya begitu lebat. Buncis, kecipir, kara pendek, kara loke, kapri, kacang cinde (hijau), kacang mas dan kacang  lutung daunnya rimbun rimbun dan  buahnya begitu
lebat. Kemangi,  bunga telasih, diseling  gandarusa, keladi, bentul, talas, uwi, gembili, dan kentang di tanam di pinggir. Pohon singkong ditanam di tepi,  sebagai pagar.  Pintu masuk kebun  ada empat, di sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan  masing-masing diberi pintu ruji-ruji. Keempatnya dihubungkan dengan  jalan lurus (Jawa:maju pat)  dan
saling memotong di tengah sehingga membentuk perempatan. Luas kebun ada sekitar seratus tombak persegi. Kesanalah sekali waktu Diponegoro pergi bercengkerama bersama para isteri, anak-anak, diikuti para abdi dan kerabatnya (Carey, 1981:.6-8)   8).
      Kenyataan di atas membuyarkan gambaran salah tentang Selarong. Semula banyak orang menyangka bahwa Selarong waktu itu masih  berupa  daerah terpencil, yang dipenuhi hutan belukar dan sulit  dijangkau, sehingga menjadi daerah pengungsian dan  benteng pertahanan setelah Tegalrejo jatuh ke tangan Belanda. Ternyata anggapan itu keliru. Selarong telah merupakan sebuah kota kecil, ada pesanggrahan yang indah, dilengkapi dengan alun-alun, kebun dan taman, mesjid dan berbagai fasilitas yang lain.
        Kemampuan menyulap daerah yang semula hutan belukar dengan tanahnya yang tandus menjadi sebuah ”kota” dengan fasilitas miniatur sebuah kraton, membuktikan bahwa perancangnya adalah  seorang  yang luar biasa. Selain berwawasan luas, memiliki cita rasa estetika yang tinggi, berjiwa kuat sehingga mampu mewujudkan idenya, juga memiliki pengaruh yang cukup besar. Orang itu  ternyata tidak lain adalah Diponegoro.
______________________
             8)Babad Dipanagara : An Account of the Outbreak of the Java War (1825-1830) dikenal sebagai Babad Dipanegara versi Surakarta.  Naskah ini ditulis  kira-kira hanya dua bulan berselang setelah serangan tentara Belanda  ke Tegalrejo yang berlangsung tanggal 21 Juli 1825. Sayangnya di situ tidak disebut kapan  pesanggrahan Selarong itu dibangun. Namun menginggat tempat tersebut sering dikunjungi Diponegoro bersama para isteri, anak dan kerabatnya,  maka bisa diduga bahwa tempat itu baru dibangun  sepeninggal Ratu Ageng, setidaknya di saat Diponegoro telah menginjak  usia tigapuluhan.

      Nampaknya api peperangan tidak menyurutkan semangat  Diponegoro untuk berkreasi di dunia arsitektur. Sewaktu bermarkas di Banyumeneng, untuk mengisi kekosongan jiwanya dia  membangun semacam panepen di dusun Mataraman. Bangunan  itu letaknya ada di lereng sebuah bukit, dikitari oleh sebuah sungai dan dirancang sebagai layaknya  pertapaan seorang pendeta. Selain dilengkapi dengan sebuah surau kecil, kolam, dan berbagai jenis pepohonan, juga dipelihara beberapa binatang piaraan, terutama burung perkutut. Di tempat itulah Diponegoro banyak menghabiskan waktu bersama sejumlah abdi (Jawa:punakawan) yang melayani kebutuhannya sehari-hari.  Menjelang sholat Jum’at, biasanya dia pergi  ke  Banyumeneng untuk melaksanakan sholat berjamaah. Selesai sholat diapun kembali  ke padepokannya (Babad,  P.XVII, b.78-83). 
      Fakta-fakta sejarah di atas membuktikan bahwa kreativitas dan cita rasa estetika Pangeran Diponegoro cukup tinggi.  Bakat  arsiteknya terlihat dalam rancang bangun dan tata ruang kawasan  di  Tegalrejo, Seloharjo, pesanggrahan Selarong dan Mataraman.

IV. Sebagai Seorang Sastrawan

      Di awal Abad 19 banyak orang dari  kalangan bangsawan Jawa yang  mulai belajar dan memperdalam sastra Jawa. Tujuannya  agar bisa membaca dan mengerti naskah-naskah yang umumnya ditulis dengan huruf Jawa ataupun Arab Pegon. Semangat itu tidak terbatas di kalangan laki-laki, bahkan para putripun banyak yang bisa membaca. Hanya untuk tulis menulis,  masih jarang yang bisa karena ada anggapan bahwa  masalah tulis menulis adalah pekerjaan seorang juru tulis (Jawa:carik). Untuk membuat surat misalnya, mereka cukup memerintahkan carik  mencatat apa yang dikatakan. Begitu pula bila ingin mengerti isi sebuah naskah, mereka cukup menyuruh seorang juru baca untuk membacakan dan mereka mendengarkan.       
      Naskah-naskah Jawa yang sudah ada di masa itu  umumnya berupa tulisan tangan, huruf Jawa, bahasanya Kawi atau Jawa. Akan halnya kitab-kitab terjemahan dari bahasa Arab, ada sementara yang ditulis dengan huruf Arab Pegon, bahasanya Jawa campur  Arab. Isinya selain pengetahuan agama Islam ada yang berisi cerita atau dongeng, misalnya Kitab Anbiya yang mengisahkan tentang para nabi dan lain-lain. 
     Untuk naskah-naskah Jawa antara lain tercatat adanya Kakawin Ramayana, Arjuna Wiwaha dan Bharatayuda. Selain itu juga ada naskah-naskah Suluk karangan para wali di jaman kraton Demak, Serat Pepali Ki Ageng Sela, Serat Angger Surya Alam, Serat Angger Jugul Muda, juga Serat Nitisruti karangan Pangeran Sujanapura di Karanggayam dari jaman kraton Mataram, Dari masa kraton Kartasura terdapat Serat Nitipraja, Serat Nitisastra, Tajus’salatina, Serat Iskandar, Serat Menak karangan Kyahi Sutaprana dan Serat Katuranggan karangan Raden Manyura, lurah Panegar di kraton Kartasura, juga Serat Jayalengkara Wulang karangan Pangeran Pekik dari Surabaya.
      Mengenai naskah babad, tercatat ada Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak dan Babad Pajang. Ada pula Babad Mataram dan Jangka Jayabaya yang keduanya dikarang oleh Panembahan Wijil di Kadilangu di masa Kartasura,  Babad Kartasura karangan  Carik Bajra,  dan Kitab Musarar dari masa kraton Surakarta awal dan lain-lain.  Umumnya naskah-naskah tersebut hanya dimiliki oleh kalangan bangsa-wan atau para pujangga (Tanojo, t.t:38).
     Sebagai bangsawan Jawa, yang sekaligus seorang santri Diponegoro selain memper-dalam Al Qur’an dan kitab-kitab agama yang lain, dia juga membaca banyak naskah sastra Jawa berupa suluk, kekawin dan babad.  Di masa kecilnya konon dia sering dipanggil oleh kakek buyutnya untuk membacakan  naskah-naskah tersebut.   
      Suatu hal yang perlu mendapat perhatian di sini ialah adanya pengakuan Diponegoro bahwa dia tidak bisa membaca dan menulis. Pengakuan itu sering muncul saat dia berurusan dengan pihak Belanda, misalnya saat di sebagai Wali Sultan disodori sebuah Surat Perjanjian yang dibuat Belanda.  Dalam naskah Babad versi biografi  dikisahkan :  ” . . . kangjeng Pangeran tan apti, kinen maos kewala mapan tan bisa, jinalukan tanda-asma, ngandika tan bisa nulis . . . ”  (Kanjeng Pageran  (nampaknya)  kurang berkenan, disuruh membaca saja tidak bisa, (ketika) dimintai  tanda  tangan mengatakan tidak bisa menulis) (Babad Diponegoro, hal. 91).
      Dalam kasus tersebut jelas bahwa pengakuan itu hanya dipakai sebagai alasan untuk tidak menyangkutkan diri pada perjanjian tersebut. Bagaimana dengan pengakuan yang sama dalam kasus lain ?  Banyak orang menduga bahwa itu dilakukan karena terdorong oleh sifatnya yang merendahkan diri, sebagaimana ciri umum kalangan bangsa Jawa di masa itu.  Kemungkinan yang lain ialah keinginannya untuk sedapat mungkin meniru jejak Nabi Muhammad SAW. Seperti dikatahui saat Nabi didatangi Malaikat Jibril di gua Hira  dan berkata  ”Bacalah”, maka  Nabi  menjawab ”Saya tak tahu membaca” (Soewito Santosa, 1990:72).
      Pengakuan Diponegoro itu  ditepis oleh pernyataan Louw yang mengatakan  : ”. . . Hij schrijft de Javaansche taal, doch zeer slecht” (Dia dapat menulis dalam bahasa Jawa, tetapi jelek sekali).  Kesaksian lain muncul dari Letnan Knoerle yang mengantarkannya dalam perjalanan ke Menado.  Dalam laporannya Knoerle antara lain menuliskan : ”. . . In de eerste dagen van onze reis verzekerde mij de Prins, dat hij het schrijven onkundig was; later echter zich op den toon eener meer vertrouwelijke mededeeling gevestigd hebbende, dat mij Diepo Negoro te kennen, dat hij de Javaansche taal gebrekkig schreef” (Pada hari-hari pertama dari perjalanan kami, sang Pangeran memberitahu saya bahwa dia tak dapat menulis, tetapi beberapa waktu kemudian, ketika kami sudah saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik, Diponegoro memberitahukan bahwa dia dapat menulis bahasa Jawa, tetapi tidak pandai) (Louw, I, 1893:131, 135).   
      Terlepas dari pengakuan tersebut, setelah  Diponegoro  berada di tempat pengasingan di Menado dan  Makasar ternyata dia berhasil menyusun naskah babad, dalam bentuk tulisan tangan tidak kurang dari 800 halaman. Naskah dalam bentuk tembang itu ternyata sangat susah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. 
      Mengenai sulitnya penerjemahan  Van Praag mengatakan  :  ”. . . Calon (penter-jemah) amat banyak. Kontrolir-kontrolir dari pendapatan negara dan perkebunan-perkebunan, seorang komis dari salah satu departemen pemerintahan umum, seorang guru, memajukan lamaran. Masing-masing dikirimi suatu bagian untuk diterjemahkan. Beberapa orang mengirimkannya kembali, tanpa berbuat suatu apapun, yang lain mengirimkan hasil kerjanya, yang membuat ahli bahasa Jawa Cohen Stuart ngeri melihatnya . . . ”(Praag, 1947:23).                          
      Kenyataannya  naskah babad yang nantinya dikenal sebagai Babad Diponegoro versi biografi  itu memang luar biasa.  Seluruhnya terdiri dari  2.439 bait. yang terbagi menjadi 17 pupuh (stanza) sebagai berikut  :   1). Sinom  (46 bait), 2). Asmaradana (160), 3). Pangkur (134), 4). Mijil (168), 5). Kinanti (140), 6). Sinom (100), 7). Dandanggula (80), 8). Durma   (150), 9). Asmaradana (109), 10). Girisa (133), 11). Maskumambang (109), 12). Pangkur (247), 13). Megatruh (160), 14). Pocung (218), 15). Sinom (116), 16). Dandanggula (100) dan 17). Asmaradana (149).  Isinya dimulai dari situasi Jogyakarta  di masa Sultan HB II termasuk  adanya Perang Sepehi di masa Inggris, juga permusuhan dengan Daendels hingga dengan Perang Jawa sampai dengan penangkapan dan pembuangan dirinya ke Menado dan Makasar.
     Dari cara dia mengungkapkan perasaan serta kesaksiannya terhadap berbagai peristiwa ataupun kasus menunjukkan ketajaman pikiran dan kuatnya daya ingat. Selain sebagai karya sastra, karya tersebut juga bisa dianggap sebagai naskah sejarah.  Penguasaan terhadap sastra Jawa terlihat cukup kuat, ini terbukti dari digunakannya sebelas jenis tembang macapat, mulai dari Maskumambang, Sinom, Asmaradana, Pangkur, Mijil, Kinanti, Dandanggula, Durma. Girisa, Megatruh, hingga Pocung. Artinya, hampir seluruh tembang macapat dipakai untuk mengungkap perasaan yang tersembunyi dalam kalbunya. Bagi peneliti sejarah, karya tersebut memiliki nilai tersendiri karena memberi banyak informasi yang tidak bakal dijumpai dalam arsip maupun dokumen resmi pemerintah kolonial, walaupun untuk menggunakannya diperlukan sikap ekstra hati-hati.

V.  Penutup
      Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Diponegoro, figur sentral Sejarah Perang Jawa  1825-1830 ternyata memiliki faset kehidupan yang cukup menarik. Dalam kaitannya dengan perang orang melihat dia sebagai sosok ksatria Jawa atau  prajurit, panglima perang  yang pilih tanding.
      Pada sisi lain ternyata dia memiliki  kemampuan berimaginasi,  kreativitas dan cita rasa estetis yang cukup tinggi, khususnya dalam bidang arsitektur. Hal itu tercermin dari adanya tata ruang kawasan dan rancang bangun arsitektur di situs Tegalrejo, Seloharjo, Selarong dan Mataraman. Dari karya biografinya terlihat bahwa bakatnya yang lain, yang membuktikan bahwa pada dirinya mengalir darah sastrawan, sekaligus juga  sejarawan yang baik.

Thursday 4 March 2010

MEDIA MUDA NUSANTARA : Keraton Djogyakarta : Regol Donopratopo


Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna[40].

Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.

Di bagian Pelataran Kedhaton, Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem Ageng Proboyakso yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.

Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri Gedhong Jene (The Yellow House) sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh Sultan HB X tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Keraton Kilen[41]. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, Gedhong Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.

Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro[42]. Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak[43], Bangsal Mandalasana[44], Gedhong Patehan[45], Gedhong Danartapura[46], Gedhong Siliran[47], Gedhong Sarangbaya[48], Gedhong Gangsa[49], dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.

Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat[50] pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani, dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.[51]

MEDIA MUDA NUSANTARA : Batik dalam Tatacara Pernikahan Jawa


Kain batik memang tak asing lagi bagi masyarakat Jawa terutama Jogja. Dalam berbagai acara, kain-kain ini sering menjadi pakaian resmi yang menunjukkan kekhasan daerah, begitu juga dalam upacara-upacara adat tertentu seperti perkawinan. Kain-kain bermotif unik dan tradisional ini dikenakan oleh hampir seluruh keluarga dan kerabat untuk menyambut hari bahagia, bersatunya dua manusia.
Sebelum dipersatukan dalam ikatan perkawinan yang sering disebut dengan istilah ijab, kedua calon pengantin dipingit (tidak diijinkan untuk bertemu). Sehari sebelumnya kedua mempelai harus menjalani upacara siraman (mandi kembang) di tempat masing-masing. Menurut salah satu empu rias pengantin, R. Sri Supadmi, kain yang digunakan dalam upacara ini tak boleh sembarangan. "Mereka harus menggunakan kain putih. Tetapi karena kain ini tembus pandang maka di dalamnya harus dilapisi batik," ungkap seorang ibu yang pernah menjadi penata rias di keraton selama pemerintahan HB IX ini.
Motif batik yang digunakan dalam upacara ini juga harus dipilah-pilah. Pada dasarnya banyak motif seperti sidoasih dan sidomukti yang dapat digunakan, tetapi ada beberapa motif yang menurut Bu Padmi memang menjadi pantangan karena maknanya yang kurang bagus. Motif itu antara lain parang rusak dan parang barong yang dipercaya dapat merusak.
Setelah disiram oleh orang tua dan penata rias yang juga menjadi dukun manten, calon pengantin perempuan dipersiapkan untuk menjalani malam midodareni. Ia kemudian harus mengenakan batik motif grompol, bermakna mengumpulkan. Pada malam midodareni, selain dirias dan mengenakan batik motif truntum yang bermakna tumbuh, pengantin perempuan sebenarnya tak boleh keluar kamar sama sekali. Namun menurut Bu Padmi yang banyak meraih penghargaan dari departemen kebudayaan ini, semua telah banyak berubah sekarang.
Perubahan itu bukan hanya terlihat dari pengantin yang tak lagi betah berada di kamar kemudian jalan-jalan keluar dan menemui tamu, tetapi juga pada pemakaian motif batik. Pada malam midodareni sekarang ini pengantin diperbolehkan untuk mengenakan motif lain seperti sidomukti dan semen (yang disamaartikan dengan semi). Selain itu juga sering terjadi pergeseran pemakaian motif batik pada orang tua mempelai yang menggunakan truntum yang diambil dari kata tumaruntum atau bertumbuh.
Pada waktu mengikat janji pernikahan atau ijab, motif batik yang digunakan juga fleksibel. Mereka dapat mengenakan berbagai motif entah itu sido mukti, sido asih maupun semen. Parang rusak, parang barong dan kawung besar tetap menjadi pantangan. Hal ini karena parang rusak berkonotasi negatif, parang barong hanya diperkenakan untuk para raja, sementara kawung besar adalah milik ahli agama.
Diakui oleh Supadmi yang menjadi perias bersama suaminya, R. Suwardanidjaja, bahwa memang tak semua orang tau akan hal ini. Untuk itulah setelah menjuarai lomba rias pengantin tiga kali berturut-turut pada tahun 1979, 1981, dan 1983, ia bersama suami kemudian membuat sebuah buku "Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta" yang diterbitkan oleh gramedia.
Cara lain yang ditempuh oleh wanita yang terilhami untuk menjadi perias sejak kecil ini guna melestarikan budaya pernikahan adalah dengan membuka kursus bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang perias pengantin. Selain belajar merias mulai dari membuat paes yang benar, peserta juga akan diajari menjalankan tata upacara pernikahan dengan berbagai urutan dan makna serta cara pelaksanaannya.

MEDIA MUDA NUSANTARA : Sumpah Gajah Mada (SGM) : Tumasik Samana Ingsun Amukti Palapa




Hasil gambar untuk foto gajah madaIni ramuan sukses yang jarang dibicarakan. Ramuan ini asli made in Nusantara. Jauh sebelum orang mengenal nama-nama besar di bidang pengembangan diri, konseptor sukses yang satu ini sudah lebih dulu hadir. Semua maha guru ilmu pengembangan diri yang sudah klasik maupun masih relatif populer saat ini—sebutlah beberapa nama seperti David Scwartz, Andrew Carnegie, Norman Vincent Peale, Dale Carnegie, Robert Schuller, Zig Ziglar, Anthony Robbins, Stephen R. Covey, Martin Seligman, Paul Stoltz, John C. Maxwell, Brian Tracy, John Grinder, Richard Bandler, dan sebagainya—belum ada yang menyamai prestasi nenek moyang kita yang satu ini.

Menurut Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Gajah_Mada), resep asli yang dicetuskan oleh tokoh besar di paruh pertama abad ke-14 itu tercatat dalam kitab Pararaton. Bunyinya adalah sebagai berikut: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa”. Dalam terjemahan bebas yang dicantumkan Wikipedia, artinya : “Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku tak akan menikmati palapa. Sebelum aku menaklukkan pulau Gurun, pulau Seram, Tanjung Pura, pulau Haru, Pahang, Dompo, pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa”.

Ya. Benar sekali. Itulah Sumpah Palapa alias Sumpah Gajah Mada yang terkenal. Dalam setiap pelajaran sejarah Indonesia yang menyentuh episode Kerajaan Majapahit, nama Gajah Mada harus disebut dan dihafalkan bersama Prabu Hayam Wuruk. Di sejumlah kota besar negeri ini, nama Gajah Mada dan Hayam Wuruk diabadikan sebagai nama jalan yang penting. Khusus di Jakarta, letak Jalan Gajah Mada bahkan bersisian dengan Jalan Hayam Wuruk di pusat kota, beberapa puluh meter saja dari Istana Negara.

Begitu kenal dan hafalnya orang pada Sumpah Gajah Mada (SGM) itu, sampai-sampai banyak orang tak sempat melihat relevansinya terhadap berbagai konsep sukses saat ini. SGM sebenarnya bukan hanya terbukti manjur untuk menyatukan Nusantara di masa silam. SGM juga bisa menjadi formula sukses yang luar biasa, jika diterapkan bahkan oleh para petinggi negeri bernama Indonesia saat ini.

Perhatikan struktur sumpah tersebut. Gajah Mada memilih untuk tidak makan “palapa” yang menunjuk pada “rempah-rempah” atau simbol dari “kenikmatan duniawi”. Dengan kata lain, ia berpuasa, berpantang diri untuk tidak mencicipi kenikmatan duniawi. Ia tetap makan dan minum juga, tetapi seperlunya. Ia tidak mengumbar hawa nafsunya, walau pun posisinya sebagai Mahapatih (Perdana Menteri) memberinya peluang besar untuk bisa menikmati apapun yang dia inginkan. Ia mendisiplin dirinya dengan ketat. Itu hal pertama.

Hal kedua adalah tujuan yang besar dan mulia. Tujuan besar dan mulia membuat bulu kuduk bergidik. SGM tidak dibuat untuk diet dalam rangka melangsingkan diri, seperti yang galib kita saksikan dilakukan para tokoh selebritas. Tujuan yang ingin dicapai bukan pula untuk kesuksesan pribadi. Bukan untuk menjadi kaya raya secara cepat, atau untuk naik gaji tiga kali dalam setahun. Bukan untuk meledakkan omset penjualan 300-600 % dalam enam bulan ke depan. Bukan juga untuk memperoleh posisi atau jabatan empuk yang penuh fasilitas mewah. Bukan. Tujuan Gajah Mada lebih besar daripada kepentingan diri dan keluarganya. Tujuannya bahkan mengalahkan suku-suku bangsa, sehingga berskala ”lintas suku bangsa”, lintas etnis.

Hal ketiga adalah jenis puasanya. Ia puasa ”palapa” alias ”rempah-rempah”. Ini berarti ia puasa mengenai sesuatu yang sederhana, sesuatu yang tidak membahayakan kesehatan tubuhnya, tetapi yang setiap hari (setiap kali makan) akan ia ingat. Ia membuat semacam sistem peringatan diri, setiap hari ia akan diingatkan akan tujuannya.

Nah, berguru pada Sang Mahapatih, seorang pekerja muda yang ingin maju dalam karier bisa saja membuat sumpah seperti ini, ”Sebelum aku bisa membeli rumahku sendiri, aku tidak akan nonton film di bioskop. Sebelum aku membayar uang muka rumah pertamaku dan melunasi cicilan tahun pertama, aku tidak akan nonton film di bioskop”.

Seorang manajer penjualan yang ingin berprestasi, bisa membuat sumpah, ”Sebelum target penjualan tahun ini tercapai, aku tidak akan makan sate kambing kesenanganku. Sebelum bonus tanda pencapaian target penjualan tahun ini ditransfer ke rekeningku, aku tak akan menggigit satu pun sate kambing kesenanganku”.

Seorang pemimpin perusahaan yang ingin maju, bisa bersumpah, ”Sebelum perusahaan ini memiliki cabang di 33 propinsi yang ada di Indonesia, aku tidak akan minum kopi kesukaanku. Sebelum berdiri kantor cabang di 33 propinsi itu, tidak akan ada yang pernah melihatku minum kopi favoritku itu”.

Yang paling afdol adalah kalau seorang pejabat setingkat eselon satu, menteri, menteri koordinator, bahkan wakil presiden dan presiden, di awal jabatannya bersumpah, ”Sebelum berhasil memberantas korupsi, aku tidak akan minum teh atau kopi apapun. Sebelum bisa membuat angka korupsi di departemen yang aku pimpin menjadi angka terendah dalam indek korupsi yang diukur oleh tim independen, maka aku tidak akan minum teh atau kopi manapun”. (Tentu saja jenis puasa yang dipilih pejabat itu harus terkait dengan makanan atau minuman favoritnya, yang tidak membahayakan kesehatannya, namun membuatnya tidak mencicipi ”kenikmatan duniawi” sebelum mengangkat harkat dan derajat rakyat yang dipimpinnya, yang masih menderita karena korupsi dimana-mana).

Jadi, kalau ramuan sukses Gajah Mada ini mau dimodifikasi dan diterapkan untuk berbagai macam konteks agar Indonesia menjadi lebih baik, semuanya masih relevan. SGM bahkan lebih relevan untuk diaplikasikan ketimbang berbagai sumpah jabatan yang tidak jelas komitmennya dan pejabatnya kemudian banyak yang terlibat korupsi.

Ayo, siapa (pejabat mana) yang berani menerima tantangan melakukan sumpah berstruktur SGM? Kalau tak ada, ya keterlaluan! Masa sudah diberi resep sukses tak juga dilakukan. Iya nggak sih?

(Catatan khusus: Terus terang, tidak jelas bagi saya apakah pengusaha senior Bob Sadino, yang selalu tampil bercelana pendek dan baju buntung itu, pernah menggunakan format SGM dalam hidupnya. Yang jelas sampai hari ini dia tidak juga sempat bercelana panjang. Mungkin masih ada ”tujuan” yang belum tercapai juga. Coba saja tanyakan kepadanya. Hahahahaha!)

*) Andrias Harefa. Mindset Therapist, Penulis 35 Buku Best-Seller, Trainer/Speaker Coach Berpengalaman 20 Tahun

MEDIA MUDA NUSANTARA : Pemberdayaan Kelautan Nusantara



Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) merupakan upaya untuk menciptakan pembangunan berbasis masyarakat. Artinya pemberdayaan yang dimulai dari prakarsa masyarakat itu sendiri. Dinas Kelautan dan Perikanan ( DKP ) Kota Semarang Januari 2010 meresmikan pelepasan perahu di Kelurakan Tugurejo, tepatnya di Tapak. Kelompok Rukun Makmur dipercaya untuk mengelola perahu bantuan dari Program PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan. Kunci keberhasilan masyarakat dalam pemberdayaan ada dua yaitu faktor mikro dan faktor makro. Faktor mikro yaitu dimulai dari individu itu sendiri dalam meningkatkan kemampuan ketrampilan  dan rasa saling peduli dalam memajukan komunitasnya  dan faktor makro yaitu bagaimana sebuah komunitas tersebut mampu bekerjasama dengan pihak lain dalam mengembangkan sebuah masyarakat. Dengan pendekatan dua faktor tersebut diharapkan program-program pemberdayaan dapat mencapai hasil yang diharapkan. ( Joss )