Friday 24 June 2016

MEDIA MUDA NUSANTARA : Lembaga Kemasyarakatan : Tinjauan Pustaka




TINJAUAN PUSTAKA 
Oleh : Mawan Hertanto

3.1 KELEMBAGAAN

            Dalam pengembangan kelembagaan masyarakat perlu diketahui dahulu tentang pengertian lembaga. Menurut Horton (1964) dapat diketahui bahwa lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengandung nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

            Menurut Landis (1955) menyebut lembaga sebagai Struktur Formal Kebudayaan yang dibuat untuk kebutuhan dasar masyarakat. Menurut Uphoff ( 1986) menyebut lembaga sebagai Kompleks aturan-aturan dan tingkah laku yang selalu ada yang dimaksudkan untuk memenuhi nilai-nilai kolektivitas.

            Pengertian lembaga dan organisasi Sosial secara umum hampir sama namun menurut Anderson (1964) pengertian Organisasi Sosial adalah Struktur hubungan manusia dimana secara purposif berasosiasi dalam suatu unit yang teratur secara sistematik untuk mencapai beberapa tujuan atau kepentingan –kepentingan yang tidak secara spesifik dinyatakan dalam lembaga. Jadi dalam organisasi sosial kepntingan-kepentingan yang ada dan tujuan tidak secara tegas dinyatakan dalam lembaga tersebut.
                
            Konsep kelembagaan masyarakat merupakan hubungan antar lembaga dan organisasi dalam masyarakat yang dapat dikategorikan pada tiga kategori yaitu adanya lembaga tetapi tidak memenuhi syarat sebagai organisasi, adanya organisasi tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga dan ada lembaga dalam masyarakat sekaligus sebagai organisasi.

            Pengertian lembaga dan organisasi sosial dapat disimpulkan bahwa kelembagaan adalah ”mengarah pada adanya seperangkat aturan yang mengarahkan perilaku masyarakat dalam mencapai kebutuhan penting dalam kehidupannya ( fokusnya pada aturan yang jelas dan tegas). Organisasi pada dasarnya menekankan pada struktur, struktur tersebut terbentuk sebagai hasil dari interaksi sejumlah peranan , interaksi tersebut bisa bersifat kompleks bisa pula bersifat sederhana, dapat bersifat formal dan informal.

            Dalam proses pembangunan diharapkan munculnya kelembagaan yang merupakan lembaga dan organisasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga dan memelihara eksistensi sebuah kelembagaan dan organisasi masyarakat agar dapat berkiprah dalam pembangunan secara berkelanjutan yaitu :
a.    Adanya aturan yang menjadi pedoman perilaku
b.    Adanya struktur yang mefasilitasi berfungsinya aturan dalam mengarahkan perilaku
c.    Adanya kondisi terlembagakan ( institutionalized) dari aturan dan struktur sehingga tercipta penerimaan dan kepatuhan pada masyarakat dimana lembaga beraktivitas

                 Menurut Siti Bulkis (unhas), komposisi dan fungsi lembaga ada beberapa hal yaitu ;
1.    Lembaga terdiri dari obyek kebudayaan material, pola tingkah laku yang telah terspesifikasikan, sperangkat sikap (attitudes), peranan dan harapan.
2.    Lembaga harus mempersiapkan anggota-anggotanya untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini biasanya setiap peranan berasosiasi dengan aturan-aturan tingkah laku formal yang diterima secara luas.
3.    Lembaga mengatur prosedur tentang suatu tindakan dan alasan-alasan atas pelaksanaan tindakan itu.
4.    Lembaga berfungsi dalam membatu manusia memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
5.    Lembaga memiliki dual structure yaitu struktur pertama terdiri dari seprangkat aturan-aturan dan prosedure-prosedur yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan . Struktur kedua adalah berkaitan dengan jaringan peranan – peranan dari anggotanya dalam melaksanakan kegiatannya.
6.    Lembaga berfungsi dalam mengkordinasikan dan menstabilkan kebudayaan yang mampu memberikan rasa aman terhadap individu di masa kini dan masa datang
7.    Lembaga dapat berfungsi sebagai mekanisme sosial kontrol.
Dalam upaya mengembangan kelembagaan ada beberapa model yang digunakan yaitu:

1.      Model Pengembangan Kelembagaan yang ada antara lain:
a.    Model Dukungan Kelembagaan yaitu berupa asistensi berupa bantuan teknis, dana  dan pelatihan
b.   Model Fasilitasi yaitu berupa kegiatan mengkreasi kapasitas lembaga lokal yang lebih besar  melalui identifikasi kebutuhan dan masalah.
c.    Model Promosi melalui kegiatan reorientasi dan penguatan kelembagaan
d.   Model Belajar yaitu bersama masyarakat saling belajar  sebagai agen pembangunan mulai dari perencanaan dan evaluasi

2.      Model Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia
a.       Pelatihan yang tepat dan pengembangan potensi kepemimpinan ( pemebrdayaan wanita, keorganisasi untuk pemimpin lokal dsb dengan model yang lebih informal dan horizontal. Untuk itu fasilitaor berfungsi menanamkan kepercayaan diri ,  mengarahkan ke potensi diri dan inisiatif berkelanjutan dan sasaran darai pengembagan Kapasitas Sumberdaya Manusia pada mengenali dan memecahkan masalah.

3.      Model penguatan Kapasitas Kelembagaan
            Dalam melakukan penguatan kelembagaan dilakukan dengan bekerjasama dengan lembaga yang sudah eksis/ ada/bertahan dan mampu dalam menjalankan kegiatannya dalam sebuah masyarakat. Pengembangan pendektan katalitik yaitu pendekatan untuk menciptakan individu dalam komunitas sebagai promotor yang berfungsi sebagai katalisator perubahan . Kegiatan penguatan kapasitas secara langsung berkorelasi dengan kegiatan asistensi, fasilitasi dan promosi. 

Untuk menciptakan kelembagaan yang berkelnjutan maka ada mekanisme yang perlu diperhatikan yaitu :
a.    Penanaman , penumbuhan dan pengutan nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai
b.    Pembentukan dan pemantapan segi keorganisasian dari lembaga
c.     Menjaga dan mengontrol  berfungsinya fungsi-fungsi dalam lembaga
d.   Melakukan evaluasi terhadap lembaga berkaitan dengan norma-norma, struktur dan fungsi-fungsi pencapaian tujuan
            Untuk menilai kinerja kelembagaan dapat dinilai dari beberapa hal antara lain efisiensi yaitu sejauhmana  kelembagaan  yang dikembangkan  berkontribusi pada pencapain tujuan atau program / kegiatan pembangunan atau sejauh mana lembaga tersebut berperan yang dinilai darai efesiensi teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan atau dengan kata lain terjadi atau tidak keseimbangan fungsional.    
            Lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban.  Huntington (1965) sedangkan  menurut Uphoff  (1986)  lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.      

PEMBINAAN DAN PENDAMPINGAN
 
















3.2  Model Pemberdayaan ( Konsep Pemberdayaan )
Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang kemudian mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industriliasiasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat yang pekerja yang dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industralisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan  kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3). Keuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh individu, dalam keadaan tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek kehidupannya. Konsep ini merupakan bentuk penghargaan terhadap manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian.
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang dikenal “tidak berdaya” perlu untuk dibuat “berdaya” dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan.
Pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya “membangkitkan partisipasi” masyarakat tersebut. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan. 
Sebagai agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Agen penyuluhan lebih memposisikan diri sebagai orang luar yang akan menangani masalah di dalam komunitas. Sedangkan agen pemberdayaan lebih menekankan pada bantuan memfasilitasi saja sedangkan keputusan bahkan alternatif pemecahan merupakan hasil kreasi komunitas itu sendiri.
Pemberdayaan komunitas menjadi isu yang sangat penting yang berkembang dengan pesat di negara berkembang. Kepeduliannya terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, keadilan serta keberlanjutan menjadikannya mudah diterima oleh komunitas yang mungkin sudah bosan dengan model pembangunan top down yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.Peranan agen pemberdayaan baik kalangan LSM maupun pemerintah menjadi sangat besar untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan komunitas. Tak kalah pentingnya juga peran media massa dalam meningkatkan partisipasi komunitas. Gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas perlu untuk disebarluaskan melalui media. Komunitas dapat mengembangkan media massanya sendiri yang tentu akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera komunitasnya. Tidak heran bermunculanlah “radio komunitas” sebagai bentuk partisipasi komunitas dalam menyebarluaskan informasi dan “memberdayakan” komunitas lain di sekitarnya. Pemberdayaan perlu melihat sosiocultural masyarakat yang akan menerima program. 

Menurut O.S Prijono dan A.M. W Pranaka menjelaskan konsep pemberdayaan itu dengan melihat definisi kata Ingrisnya yaitu empowerment dan empower yang masing-masing diterjemahkan dengan pemberdayaan dan memberdayakan. Kata empowerment atau pemberdayaan merupakan kata benda yang menunjuk pada berdayanya seseorang atau sesuatu sehingga tidak dapat diterjemahkan dengan pemberdayaan karena padanan pemberdayaan dalam bahasa  Inggris adalah empowering yang menunjukan proses memberdayakan orang. Prijono memberikan pemahaman yang sedikit luas dan mengacu pada pengertian kata kerja empower dalam bahasa Inggris, istilah pemberdayaan menunjuk pada Proses membuat orang atau sesuatu menjadi berdaya.

      Menurut pengertian dalam kamus bahasa Indonesia dalam Tulusan Model Pemberdayaan Masyarakat yang di tulis Robert M.Z Lawang berdaya berarti kekuatan, kemampuan sedemikian sehingga orang itu tidak mudah diperdaya. Jadi berdaya menunjuk pada keadaan yang memperlihatkan adanya kemampuan , kekuatan dalam diri orang atau sesuatu. Sedangkan menurut Prof.Dr.Sardjono Jatiman dalam tulisan Model pemberdayaan Masyarakat Robert M.Z Lawang menyebutkan  konsep pemberdayaan dari sudut sosiologi dengan beberapa pengertian yaitu.

“ Dibedakan dengan jelas dalam perspektif sosiologi dimensi individu (mikro) dan struktur/system sosial (makro ). Kalau dimensi mikro/individu yang ditekankan maka struktur dianggap tunduk pada individu, sehingga yang kuat atau berdaya atau mampu disini adalah orang secara individual. Kalau dimensi makro/struktur sosial yang ditekanankan maka individu itu menjadi kuat bukan karena individu itu sendiri melainkan karena system/struktur. Struktur sosial itu kuat kalau status dan peran dalam masyarakat itu memiliki otoritas wibawa yang tinggi, sehingga individu percaya pada struktur itu. Sistem  sosial itu kuat, kalau hubungan antara status-status dalam masyarakat  mampu mengatur perilaku orang secara individual dalam masyarakat sesuai dengan tuntutan status itu. Walaupun dimensi makro ini bersifat deterministic, pembangunan dapat berjalan karena struktur/system sosial itu dapat menjadi kekuatan yang menjanjikan.”
Dengan pengertian tersebut  maka asumsi yang muncul tentang upaya pemberdayaan adalah sebagai berikut :
1.      Baik individu maupun struktur sosial kurang mempunyai daya, kekuatan, kemampuan untuk bias mengembangkan diri sehingga perlu ada usaha untuk memberdayakan mereka melalui suatu bentuk intervenai dari luar.
2.      Keadaan kurang berdaya bisa merupakan hasil dari suatu proses sosial sehingga yang dimengerti disini tidak saja bagaimana bisa memberdayakan mereka melainkan juga bagaimana proses ketidakberdayaan itu terjadi selama ini  (disempowering) – membuat orang tidak pintar-pemerasan.
3.      Ada keyakinan bahwa orang atau struktur sosial itu dapat diberdayakan , sekurang-kurangnya dengan mengembalikan mereka kepada keadaan sebelum proses disempowering itu berlangsung. 

Jika kita kaji secara bersama bahwa peningkatan kapasitas masyarakat maka perlu kiranya kita melihat pada aspek sumberdaya manusia. Aspek sumberdaya manusia di dalamnya termasuk aspek intlektual, tenaga dan manusia yang pada dasrnya melihat dari sisi ekonomi.  Padangan para ahli ekonomi melihat dari aspek human capital sedangkan para ahli social melihat dari sisi social capital .Hal ini merupakan dua hal yang saling melengkapi. Menurut Syahyuti dari Puslitbang Ilmu Pertanian Bogor dalam tulisannya ’Human Capital Vs Social Capital: Mana yang Lebih di perlukan?’ menyebutkan perbedaan antara dua hal tersebut. Berikut ini tabel perbedaan

Human Capital
Social Capital
·   Fokus  perhatian  adalah  kepada  individu

·         Fokus  kepada  relasi  yang  terjadi antar individu
·   Dalam  gambar  struktur  sekelompok manusia ia memperhatikan “titik”.

·                                 Memperhatikan “garis”
·   Strategi  pengembangan  SDM  yang dipilih  adalah  melalui  peningkatan pengetahuan dan keterampilan

·         Strategi  pengembangan  SDM  melalui  proses  belajar  (social  learning)

·   Memandang  bahwa manusia  adalah kapital  untuk  kemajuan  ekonomi  belaka

·   Memandang  bahwa  manusia  bersifat  multidimensi,  tidak  sekedar faktor ekonomi.

·    Indikator  pengukuran  kemajuan SDM  adalah  melalui  tingkat pendidikan,  umur,  dan  keahlian  yang dimiliki individu-indvidu.

·     Indikator  pengukuran melalui norma,  kepercayaan,  jaringan sosial,  dan  resiprositas  yang terbentuk dalam komunitas

Dalam konsep human capital, manusia dilihat sebagai objek individual, merupakan  kapital  ekonomi,  dan  pengembangannya  adalah  dengan peningkatan kapasitas  individual misalnya berupa peningkatan pengetahuan  dan  keterampilan.    Sebaliknya,  social  capital  melihat  manusia  sebagai  makhluk  sosial,  yaitu  bentuk  relasi  apa  yang  terjadi  ketika  manusia  berinteraksi  dengan  manusia  lain.  Jika  sebuah  komunitas  digambarkan dalam  suatu  rangkaian  berupa  titik  (nodes)  dan  garis  (lines), maka    human  capital menunjuk  kepada  “titik”  sedangkan  social  capital menunjuk  kepada  “garis”. Secara  umum,  sumberdaya  manusia  dimaknai  sebagai  “the  persons  employed in a business or organization”, dimana manusia adalah sumberdaya  untuk  bisnis.  Manusia  adalah  capital dan  dalam  pengertian  tradisional,  SDM  adalah manusia  yang  ada  dalam  perusahaan  dan  bidang  bisnis  lain,  yang  menunjuk  kepada  individu-individu  dalam  perusahaan,  berkaitan  dengan  rekruitmen,  penggajian,  pelatihan,  dan  lain-lain. 
Dalam  pengertian  ini,  biasanya  digunakan  istilah  “labor”.  Ini merupakan pemaknaan  yang  sempit, yang  hanya  melihat  pada  aspek  keterampilan  dan  kemampuan  manusia  dalam konteks “employment”.
Dalam pengertian yang sederhana  ini, manusia  hanyalah  faktor produksi dan sekaligus komoditas yang cenderung homogen  dan dapat dengan mudah dipindahkan dan dipertukarkan dari satu tempat ke  tempat  lain,  dari  satu  perusahaan  ke  perusahaan  lain. SDM  sama  dengan  "physical means of production", sebagaimana mesin dalam sebuah pabrik.  Dalam  pandangan  yang  lebih modern, manusia  (human  beings)  tidak hanya dipandang  semata-mata  sebagai  sumber  daya  yang  pasif  dan bekerja  sesuai  kontrak  belaka,  namun  dipandang  sebagai  makhluk  sosial  (social  beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat dikalahkan oleh  makhluk  lain  di  bumi  ini.  Manusia  dihargai  karena  memiliki  intellectual  capital. Kenapa penting mempelajari dan mengembangkan social capital dalam  masyarakat?  Karena  dengan  individu-indvidu  berkualifikasi  baik  belum  jaminan  akan  terciptanya  sebuah  kemajuan.  Gampangnya  begini,  jika  lima  orang doktor ditugaskan merencanakan dan mengimplementasi satu program  ke desa, maka belum  jaminan akan berhasil  jika di antara mereka  tidak ada modal sosial yang berkembang. Konsep  social  capital merupakan  pelengkap  dari  banyak  kapital  yang  sudah  berkembang  sebelumnya,  yaitu  natural  capital,  financial  capital, physical  capital,  human  capital,  human made  capital,  dan  intelectual  capital.
Social  capital  merupakan  syarat  penting  untuk  menggerakkan  sebuah  organisasi,  bahkan  untuk  pembangunan.  Untuk  itu,  social  capital  harus   dikenali dan dikembangkan pula.  Konsep  social  capital  dapat  diterapkan  untuk  upaya  pemberdayaan  masyarakat.  World  Bank  memberi  perhatian  yang  tinggi  dengan  mengkaji  peranan  dan  implementasi  social  capital khususnya  untuk  pengentasan  kemiskinan  di  negara-negara  berkembang.  Menurut  definisi  World  Bank,  social capital adalah “…a society includes the institutions, the relationships, the attitudes  and  values  that  govern  interactions  among  people  and  contribute  to economic  and  social  development”.    Social  capital menjadi  semacam  perekat yang mengikat  semua  orang  dalam masyarakat. Di dalamnya berjalan  “nilai saling  berbagi”  (shared  values)  serta  pengorganisasian  peran-peran  (rules) yang  diekspresikan  dalam  hubungan-hubungan  personal  (personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang tanggung jawab bersama.
Jadi,  elemen utama dalam  social  capital mencakup  norms,  reciprocity, trust,  dan  network.    Social  capital  tercipta  dari  ratusan  sampai  ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur  sosial,  tapi  pada  space  between  people.  Ia  menjadi  pelengkap institusi. Social capital merupakan  fenomena yang  tumbuh dari bawah, yang berasal  dari  orang-orang  yang membentuk  koneksi  sosial  dan  network  yang didasarkan  atas  prinsip  kepercayaan  dalam  hubungan  yang  saling menguntungkan  (mutual  reciprocity).  Ia  tidak  dapat  diciptakan  oleh  seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat.
Bagaimana  mengukur  social  capital?  Meskipun  belum  ada kesepakatan,  namun  ada  dua  pendekatan  untuk mengukurnya.  Kita  dapat melakukan  sensus  dengan  menghitung  jumlah  grup  atau  kelompok  sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat. Dan kedua, dapat juga dengan pendekatan survey, dengan mengukur   derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat (level of trust and civic engagement). Pada level mikro, social capital memfungsikan keteraturan sosial  (social order) bersama-sama  dengan  perasaan  bersama  dan  sikap  berbagi  (sense  of  belonging  and shared behavioral norms). Sebagian ahli menganalogkan social capital sebagai “sinergi” yang dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat yang bersinergi tinggi adalah  masyarakat  yang  bekerjasama  dengan  kuat,  sementara  masyarakat bersinergi rendah cenderung individualistis.
Konsep SDM kita selama ini perlu  diperbaharui dengan menggabungkan berbagai konsep sebelumnya yang telah mencakup konsep human  capital, human  labour,   dan  intelectual capital; dan menambahi dengan konsep social capital. Jadi, konsep SDM baru mencakup keempatnya  sekaligus,  dimana  pengembangan  SDM mesti  dilakukan  secara individual dan relasi yang  terbentuk antar  individual. Atau dapat dikatakan, pengembangan  SDM  dapat  menggunakan  pendekatan  individual  ditambah  pendekatan  komunitas.  Beberapa  pendekatan  pembangunan  yang  telah menggunakan konsep  social  capital misalnya adalah pendekatan Community Development dan Communiy Based Management. 


3.3  PENGENDALIAN SOSIAL

Salah satu upaya untuk Pengembangan kelmbagaan Kelompok masyarakat salah satunya perlu ada pengendalian social dari masyarakat itu sendiri maupun pihak eksternal dalam upaya menjaga keberlangsungan sebuah kelompok dan program kegiatan yang sedang di laksanakan.
 Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosial pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.

3.4 . JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL

Pengendalian sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a.         Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b.         Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c.         Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d.         Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e.         Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f.          Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g.         Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.



3.5  CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL

Pengendalian sosial dapat dilaksanakan melalui :
1.         Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.


2.         Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut. Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.

Pengendalian sosial yang diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.

3.         Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.

Disamping cara di atas juga agar proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a.         Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b.         Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).

Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1)         Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2)         Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.

3.5.1    Fungsi Pengendalian Sosial

Koentjaraningrat menyebut sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum

Kontrol sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.

Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.

Apakah kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.

1.      Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.

Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
    2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

1.      Beragam-Tidaknya Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu

Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers. Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
   4. Besar-Kecilnya dan Bersifat Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan

Semakin besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.

3.1.              Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi

Sering kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan. Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :

a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.

Kontrol atau pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial. Bentuk kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.

Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial. Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.  “Disarikan dari : “Berkenalan dengan Sosiologi, M. Sitorus,Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“

3.6.       Konsep Pelatihan

          Pelatihan Fasilitasi Pengembangan Kelompok Masyarakat bidang kelautan dan perikanan dilaksanakan dengan pola andragogi yaitu pendidikan orang dewasa yang menekankan pada saling berbagi pengalaman. Peserta dilibatkan untuk mampu menyelesaikan permasalahan secara bersama.

         Tujuan utama dari pelatihan yaitu mengembangkan kelompok masyarakat bidang kelautan dan perikanan menjadi lembaga yang mempunyai tata kelola organisasi yang baik guna mempercepat proses kemandirian dan memberikan pengetahuan dan ketrampilan pada kelompok / masyarakat pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan agar  mampu melakukan perbaikan kompetansi dan meningkat kapasitasnya.

Dari pelatihan yang dilakukan diharapkan akan memberikan manfaat bagi peserta/ warga masyarakat sasaran dalam meningkatkan kapasitas mereka sehingga menjadi personal yang tangguh yang sanggup . Adapun dari aspek aspek yang diharapkan akan meningkat antara lain dari sisi :

Kongnitif
1.                  Meningkatkan pemahaman konsep pemberdayaan masyarakat pesisir PNPM MKP 2010 dan Kebijakan Kelautan dan Perikanan
2.                  Meningkatkan pengetahuan dalam mengelola kelompok    
3.                  Meningkatkan pemahaman kelompok terhadap tertib administrasi organisasi maupun keuangan

Afektif
1.          Meningkatkan  respon terhadap lingkungan sekitar/kepedulian yang semakin baik terhadap ekosistem sekitar pesisir dan ekosistem perikanan.
2.          Meningkatkan rasa kepedulian kelompok  terhadap masyarakat kurang mampu terjadinya refleksi diri dalam menjalankan program kegiatan untuk kemamkmuran anggota dan masyarakat.
3.          Meningkatkan rasa empati dan simpati dari semua elemen masyarakat terhadap warga  kurang mampu sehingga terjalin komunikasi yang efektif antara obyek dan subyek program kegiatan sehingga tercipta gagasan/solusi pemecahan masalah yang dihadapi sesuai dengan kebutuhan.

Psikomotorik
1.                Meningkatkan motivasi dalam menjalankan program kegiatan sehingga mampu meningkatkan kemampuan dalam pengambilan keputusan
2.                Meningkatkan kemampuan kerjasama tim /kelompok dalam menghadapi permasalahan dan menyelesaikan masalah dalam rangka mencapai tujuan yang ditetapkan.
3.                Meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang baik, efektif dalam rangka membina kerjasama dengan berbagai pihak , mengatur strategi mencapai tujuan bersama dan tertib organisasi.