TINJAUAN
PUSTAKA
Oleh
: Mawan Hertanto
3.1 KELEMBAGAAN
Dalam
pengembangan kelembagaan masyarakat perlu diketahui dahulu tentang pengertian
lembaga. Menurut Horton (1964) dapat diketahui bahwa lembaga adalah sistem
hubungan sosial yang terorganisir yang mengandung nilai-nilai dan
prosedur-prosedur yang diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Menurut
Landis (1955) menyebut lembaga sebagai Struktur Formal Kebudayaan yang dibuat
untuk kebutuhan dasar masyarakat. Menurut Uphoff ( 1986) menyebut lembaga
sebagai Kompleks aturan-aturan dan tingkah laku yang selalu ada yang
dimaksudkan untuk memenuhi nilai-nilai kolektivitas.
Pengertian
lembaga dan organisasi Sosial secara umum hampir sama namun menurut Anderson
(1964) pengertian Organisasi Sosial adalah Struktur hubungan manusia dimana
secara purposif berasosiasi dalam suatu unit yang teratur secara sistematik
untuk mencapai beberapa tujuan atau kepentingan –kepentingan yang tidak secara
spesifik dinyatakan dalam lembaga. Jadi dalam organisasi sosial
kepntingan-kepentingan yang ada dan tujuan tidak secara tegas dinyatakan dalam
lembaga tersebut.
Konsep
kelembagaan masyarakat merupakan hubungan antar lembaga dan organisasi dalam
masyarakat yang dapat dikategorikan pada tiga kategori yaitu adanya lembaga
tetapi tidak memenuhi syarat sebagai organisasi, adanya organisasi tetapi tidak
dapat disebut sebagai lembaga dan ada lembaga dalam masyarakat sekaligus
sebagai organisasi.
Pengertian
lembaga dan organisasi sosial dapat disimpulkan bahwa kelembagaan adalah
”mengarah pada adanya seperangkat aturan yang mengarahkan perilaku masyarakat
dalam mencapai kebutuhan penting dalam kehidupannya ( fokusnya pada aturan yang
jelas dan tegas). Organisasi pada dasarnya menekankan pada struktur, struktur
tersebut terbentuk sebagai hasil dari interaksi sejumlah peranan , interaksi
tersebut bisa bersifat kompleks bisa pula bersifat sederhana, dapat bersifat
formal dan informal.
Dalam
proses pembangunan diharapkan munculnya kelembagaan yang merupakan lembaga dan
organisasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga dan
memelihara eksistensi sebuah kelembagaan dan organisasi masyarakat agar dapat
berkiprah dalam pembangunan secara berkelanjutan yaitu :
a.
Adanya aturan yang menjadi pedoman perilaku
b.
Adanya struktur yang mefasilitasi berfungsinya aturan
dalam mengarahkan perilaku
c.
Adanya kondisi terlembagakan ( institutionalized) dari
aturan dan struktur sehingga tercipta penerimaan dan kepatuhan pada masyarakat
dimana lembaga beraktivitas
Menurut Siti Bulkis (unhas),
komposisi dan fungsi lembaga ada beberapa hal yaitu ;
1.
Lembaga terdiri dari obyek kebudayaan material, pola
tingkah laku yang telah terspesifikasikan, sperangkat sikap (attitudes),
peranan dan harapan.
2.
Lembaga harus mempersiapkan anggota-anggotanya untuk
berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini biasanya setiap peranan berasosiasi
dengan aturan-aturan tingkah laku formal yang diterima secara luas.
3.
Lembaga mengatur prosedur tentang suatu tindakan dan
alasan-alasan atas pelaksanaan tindakan itu.
4.
Lembaga berfungsi dalam membatu manusia memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya
5.
Lembaga memiliki dual structure yaitu struktur pertama
terdiri dari seprangkat aturan-aturan dan prosedure-prosedur yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan . Struktur kedua adalah
berkaitan dengan jaringan peranan – peranan dari anggotanya dalam melaksanakan
kegiatannya.
6.
Lembaga berfungsi dalam mengkordinasikan dan menstabilkan
kebudayaan yang mampu memberikan rasa aman terhadap individu di masa kini dan
masa datang
7.
Lembaga dapat berfungsi sebagai mekanisme sosial kontrol.
Dalam
upaya mengembangan kelembagaan ada beberapa model yang digunakan yaitu:
1.
Model
Pengembangan Kelembagaan yang ada antara lain:
a.
Model Dukungan Kelembagaan yaitu berupa asistensi berupa
bantuan teknis, dana dan pelatihan
b.
Model Fasilitasi yaitu berupa kegiatan mengkreasi
kapasitas lembaga lokal yang lebih besar
melalui identifikasi kebutuhan dan masalah.
c.
Model Promosi melalui kegiatan reorientasi dan penguatan
kelembagaan
d.
Model Belajar yaitu bersama masyarakat saling
belajar sebagai agen pembangunan mulai
dari perencanaan dan evaluasi
2.
Model
Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia
a.
Pelatihan yang tepat dan pengembangan potensi
kepemimpinan ( pemebrdayaan wanita, keorganisasi untuk pemimpin lokal dsb
dengan model yang lebih informal dan horizontal. Untuk itu fasilitaor berfungsi
menanamkan kepercayaan diri ,
mengarahkan ke potensi diri dan inisiatif berkelanjutan dan sasaran
darai pengembagan Kapasitas Sumberdaya Manusia pada mengenali dan memecahkan
masalah.
3.
Model
penguatan Kapasitas Kelembagaan
Dalam
melakukan penguatan kelembagaan dilakukan dengan bekerjasama dengan lembaga
yang sudah eksis/ ada/bertahan dan mampu dalam menjalankan kegiatannya dalam
sebuah masyarakat. Pengembangan pendektan katalitik yaitu pendekatan untuk
menciptakan individu dalam komunitas sebagai promotor yang berfungsi sebagai
katalisator perubahan . Kegiatan penguatan kapasitas secara langsung
berkorelasi dengan kegiatan asistensi, fasilitasi dan promosi.
Untuk menciptakan kelembagaan yang berkelnjutan maka ada
mekanisme yang perlu diperhatikan yaitu :
a.
Penanaman , penumbuhan dan pengutan nilai-nilai dan
norma-norma yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai
b.
Pembentukan dan pemantapan
segi keorganisasian dari lembaga
c.
Menjaga dan
mengontrol berfungsinya fungsi-fungsi
dalam lembaga
d.
Melakukan evaluasi terhadap lembaga berkaitan dengan
norma-norma, struktur dan fungsi-fungsi pencapaian tujuan
Untuk
menilai kinerja kelembagaan dapat dinilai dari beberapa hal antara lain
efisiensi yaitu sejauhmana
kelembagaan yang
dikembangkan berkontribusi pada
pencapain tujuan atau program / kegiatan pembangunan atau sejauh mana lembaga
tersebut berperan yang dinilai darai efesiensi teknis, ekonomis, sosial dan
lingkungan atau dengan kata lain terjadi atau tidak keseimbangan
fungsional.
Lembaga
merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh
masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses
pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur
mendapatkan nilai dan kemantaban. Huntington
(1965) sedangkan menurut Uphoff (1986)
lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung dalam
waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
PEMBINAAN DAN PENDAMPINGAN
3.2 Model
Pemberdayaan ( Konsep Pemberdayaan )
Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang
kemudian mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan
muncul ketika industriliasiasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi
dan masyarakat yang pekerja yang dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang
berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan
disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam, dan alienasi
masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan
dan model industralisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini
dibangun sebagai kerangka logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan
kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2). Pemusatan
kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat
pengusaha pinggiran; (3). Keuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk
memperkuat legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem
politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok
masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. Akhirnya yang
terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain manusia
dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus
dilakukan pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment
of the powerless).
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses
terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu politik, kekuatan menyangkut pada kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain. Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk
menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh individu, dalam keadaan
tersebut masing-masing individu mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek
kehidupannya. Konsep ini merupakan bentuk penghargaan terhadap manusia atau
dengan kata lain “memanusiakan manusia”. Melalui pemberdayaan akan timbul
pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”.
Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah konsep yang sangat
luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan
partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi
kekuatan dan peningkatan kemandirian.
Partisipasi dan pemberdayaan
merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi
masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang dikenal “tidak
berdaya” perlu untuk dibuat “berdaya” dengan menggunakan berbagai model
pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat
akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan
kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu
dilakukan.
Pemberdayaan yang memiliki
arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga
pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat
mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai
tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama
ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh
karenanya diperlukan upaya “membangkitkan partisipasi” masyarakat tersebut.
Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat sehingga
masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan.
Sebagai agen pemberdayaan
sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Agen penyuluhan lebih memposisikan diri
sebagai orang luar yang akan menangani masalah di dalam komunitas. Sedangkan
agen pemberdayaan lebih menekankan pada bantuan memfasilitasi saja sedangkan
keputusan bahkan alternatif pemecahan merupakan hasil kreasi komunitas itu
sendiri.
Pemberdayaan komunitas menjadi
isu yang sangat penting yang berkembang dengan pesat di negara berkembang.
Kepeduliannya terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, keadilan serta
keberlanjutan menjadikannya mudah diterima oleh komunitas yang mungkin sudah bosan
dengan model pembangunan top down yang selama ini dilakukan oleh
pemerintah.Peranan agen pemberdayaan baik kalangan LSM maupun pemerintah
menjadi sangat besar untuk menunjang keberhasilan pemberdayaan komunitas. Tak
kalah pentingnya juga peran media massa dalam meningkatkan partisipasi
komunitas. Gerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas perlu untuk
disebarluaskan melalui media. Komunitas dapat mengembangkan media massanya
sendiri yang tentu akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera komunitasnya.
Tidak heran bermunculanlah “radio komunitas” sebagai bentuk partisipasi
komunitas dalam menyebarluaskan informasi dan “memberdayakan” komunitas lain di
sekitarnya. Pemberdayaan perlu melihat sosiocultural masyarakat yang akan
menerima program.
Menurut
O.S Prijono dan A.M. W Pranaka menjelaskan konsep pemberdayaan itu dengan
melihat definisi kata Ingrisnya yaitu empowerment dan empower yang
masing-masing diterjemahkan dengan pemberdayaan dan memberdayakan. Kata
empowerment atau pemberdayaan merupakan kata benda yang menunjuk pada
berdayanya seseorang atau sesuatu sehingga tidak dapat diterjemahkan dengan
pemberdayaan karena padanan pemberdayaan dalam bahasa Inggris adalah empowering yang menunjukan
proses memberdayakan orang. Prijono memberikan pemahaman yang sedikit luas dan
mengacu pada pengertian kata kerja empower dalam bahasa Inggris, istilah
pemberdayaan menunjuk pada Proses membuat orang atau sesuatu menjadi berdaya.
Menurut pengertian dalam kamus bahasa Indonesia dalam Tulusan
Model Pemberdayaan Masyarakat yang di tulis Robert M.Z Lawang berdaya berarti
kekuatan, kemampuan sedemikian sehingga orang itu tidak mudah diperdaya. Jadi
berdaya menunjuk pada keadaan yang memperlihatkan adanya kemampuan , kekuatan
dalam diri orang atau sesuatu. Sedangkan menurut Prof.Dr.Sardjono Jatiman dalam
tulisan Model pemberdayaan Masyarakat Robert M.Z Lawang menyebutkan konsep pemberdayaan dari sudut sosiologi
dengan beberapa pengertian yaitu.
“ Dibedakan dengan
jelas dalam perspektif sosiologi dimensi individu (mikro) dan struktur/system
sosial (makro ). Kalau dimensi mikro/individu yang ditekankan maka struktur
dianggap tunduk pada individu, sehingga yang kuat atau berdaya atau mampu
disini adalah orang secara individual. Kalau dimensi makro/struktur sosial yang ditekanankan maka individu itu
menjadi kuat bukan karena individu itu sendiri melainkan karena
system/struktur. Struktur sosial itu kuat kalau status dan peran dalam
masyarakat itu memiliki otoritas wibawa yang tinggi, sehingga individu percaya
pada struktur itu. Sistem sosial itu
kuat, kalau hubungan antara status-status dalam masyarakat mampu mengatur perilaku orang secara
individual dalam masyarakat sesuai dengan tuntutan status itu. Walaupun dimensi
makro ini bersifat deterministic, pembangunan dapat berjalan karena
struktur/system sosial itu dapat menjadi kekuatan yang menjanjikan.”
Dengan
pengertian tersebut maka asumsi yang
muncul tentang upaya pemberdayaan adalah sebagai berikut :
1.
Baik
individu maupun struktur sosial kurang mempunyai daya, kekuatan, kemampuan
untuk bias mengembangkan diri sehingga perlu ada usaha untuk memberdayakan
mereka melalui suatu bentuk intervenai dari luar.
2.
Keadaan
kurang berdaya bisa merupakan hasil dari suatu proses sosial sehingga yang
dimengerti disini tidak saja bagaimana bisa memberdayakan mereka melainkan juga
bagaimana proses ketidakberdayaan itu terjadi selama ini (disempowering) – membuat orang tidak
pintar-pemerasan.
3.
Ada
keyakinan bahwa orang atau struktur sosial itu dapat diberdayakan ,
sekurang-kurangnya dengan mengembalikan mereka kepada keadaan sebelum proses
disempowering itu berlangsung.
Jika kita
kaji secara bersama bahwa peningkatan kapasitas masyarakat maka perlu kiranya
kita melihat pada aspek sumberdaya manusia. Aspek sumberdaya manusia di
dalamnya termasuk aspek intlektual, tenaga dan manusia yang pada dasrnya
melihat dari sisi ekonomi. Padangan para
ahli ekonomi melihat dari aspek human capital sedangkan para ahli social
melihat dari sisi social capital .Hal ini merupakan dua hal yang saling
melengkapi. Menurut Syahyuti dari Puslitbang Ilmu Pertanian Bogor dalam
tulisannya ’Human Capital Vs Social Capital: Mana yang Lebih di perlukan?’
menyebutkan perbedaan antara dua hal tersebut. Berikut ini tabel perbedaan
Human Capital
|
Social Capital
|
·
Fokus perhatian
adalah kepada individu
|
·
Fokus
kepada relasi yang
terjadi antar individu
|
·
Dalam gambar
struktur sekelompok manusia ia
memperhatikan “titik”.
|
·
Memperhatikan
“garis”
|
·
Strategi
pengembangan SDM yang dipilih adalah
melalui peningkatan pengetahuan
dan keterampilan
|
·
Strategi
pengembangan SDM melalui
proses belajar (social
learning)
|
·
Memandang bahwa
manusia adalah kapital untuk
kemajuan ekonomi belaka
|
·
Memandang bahwa
manusia bersifat multidimensi, tidak
sekedar faktor ekonomi.
|
·
Indikator pengukuran
kemajuan SDM adalah melalui
tingkat pendidikan, umur, dan
keahlian yang dimiliki
individu-indvidu.
|
·
Indikator pengukuran melalui norma, kepercayaan, jaringan sosial, dan
resiprositas yang terbentuk
dalam komunitas
|
Dalam
konsep human capital, manusia dilihat sebagai objek individual, merupakan kapital
ekonomi, dan pengembangannya adalah
dengan peningkatan kapasitas
individual misalnya berupa peningkatan pengetahuan dan
keterampilan. Sebaliknya, social
capital melihat manusia
sebagai makhluk sosial,
yaitu bentuk relasi
apa yang terjadi
ketika manusia berinteraksi
dengan manusia lain.
Jika sebuah komunitas
digambarkan dalam suatu rangkaian
berupa titik (nodes)
dan garis (lines), maka human
capital menunjuk kepada “titik”
sedangkan social capital menunjuk kepada
“garis”. Secara umum,
sumberdaya manusia dimaknai
sebagai “the persons
employed in a business or organization”, dimana manusia adalah
sumberdaya untuk bisnis.
Manusia adalah capital dan
dalam pengertian tradisional,
SDM adalah manusia yang
ada dalam perusahaan
dan bidang bisnis
lain, yang menunjuk
kepada individu-individu dalam
perusahaan, berkaitan dengan
rekruitmen, penggajian, pelatihan,
dan lain-lain.
Dalam pengertian
ini, biasanya digunakan
istilah “labor”. Ini merupakan pemaknaan yang
sempit, yang hanya melihat
pada aspek keterampilan
dan kemampuan manusia
dalam konteks “employment”.
Dalam
pengertian yang sederhana ini,
manusia hanyalah faktor produksi dan sekaligus komoditas yang
cenderung homogen dan dapat dengan mudah
dipindahkan dan dipertukarkan dari satu tempat ke tempat
lain, dari satu
perusahaan ke perusahaan
lain. SDM sama dengan
"physical means of production", sebagaimana mesin dalam sebuah
pabrik. Dalam pandangan
yang lebih modern, manusia (human
beings) tidak hanya dipandang semata-mata
sebagai sumber daya
yang pasif dan bekerja
sesuai kontrak belaka,
namun dipandang sebagai
makhluk sosial (social
beings) yang dicirikan oleh daya kreatifitasnya yang tak dapat
dikalahkan oleh makhluk lain
di bumi ini.
Manusia dihargai karena
memiliki intellectual capital. Kenapa penting mempelajari dan mengembangkan
social capital dalam masyarakat? Karena
dengan individu-indvidu berkualifikasi baik
belum jaminan akan
terciptanya sebuah kemajuan.
Gampangnya begini, jika
lima orang doktor ditugaskan
merencanakan dan mengimplementasi satu program
ke desa, maka belum jaminan akan
berhasil jika di antara mereka tidak ada modal sosial yang berkembang.
Konsep social capital merupakan pelengkap
dari banyak kapital
yang sudah berkembang
sebelumnya, yaitu natural
capital, financial capital, physical capital,
human capital, human made
capital, dan intelectual
capital.
Social capital
merupakan syarat penting
untuk menggerakkan sebuah
organisasi, bahkan untuk
pembangunan. Untuk itu,
social capital harus
dikenali dan dikembangkan pula.
Konsep social capital
dapat diterapkan untuk
upaya pemberdayaan masyarakat.
World Bank memberi
perhatian yang tinggi
dengan mengkaji peranan
dan implementasi social
capital khususnya untuk pengentasan
kemiskinan di negara-negara
berkembang. Menurut definisi
World Bank, social capital adalah “…a society includes
the institutions, the relationships, the attitudes and
values that govern
interactions among people
and contribute to economic
and social development”. Social
capital menjadi semacam perekat yang mengikat semua
orang dalam masyarakat. Di
dalamnya berjalan “nilai saling berbagi”
(shared values) serta
pengorganisasian peran-peran (rules) yang
diekspresikan dalam hubungan-hubungan personal
(personal relationships), kepercayaan (trust), dan common sense tentang
tanggung jawab bersama.
Jadi, elemen utama dalam social
capital mencakup norms, reciprocity, trust, dan
network. Social capital
tercipta dari ratusan
sampai ribuan interaksi antar
orang setiap hari. Ia tidak berlokasi di diri pribadi atau dalam struktur sosial,
tapi pada space
between people. Ia
menjadi pelengkap institusi.
Social capital merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah, yang berasal dari
orang-orang yang membentuk koneksi
sosial dan network
yang didasarkan atas prinsip
kepercayaan dalam hubungan
yang saling menguntungkan (mutual
reciprocity). Ia tidak
dapat diciptakan oleh
seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat.
Bagaimana
mengukur social capital?
Meskipun belum ada kesepakatan, namun
ada dua pendekatan
untuk mengukurnya. Kita dapat melakukan sensus
dengan menghitung jumlah
grup atau kelompok
sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat. Dan kedua,
dapat juga dengan pendekatan survey, dengan mengukur derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam
masyarakat (level of trust and civic engagement). Pada level mikro, social
capital memfungsikan keteraturan sosial
(social order) bersama-sama
dengan perasaan bersama
dan sikap berbagi
(sense of belonging
and shared behavioral norms). Sebagian ahli menganalogkan social capital
sebagai “sinergi” yang dimiliki masyarakat tersebut. Masyarakat yang bersinergi
tinggi adalah masyarakat yang
bekerjasama dengan kuat,
sementara masyarakat bersinergi
rendah cenderung individualistis.
Konsep SDM kita selama ini perlu diperbaharui dengan menggabungkan berbagai
konsep sebelumnya yang telah mencakup konsep human capital, human labour,
dan intelectual capital; dan
menambahi dengan konsep social capital. Jadi, konsep SDM baru mencakup keempatnya sekaligus,
dimana pengembangan SDM mesti
dilakukan secara individual dan
relasi yang terbentuk antar individual. Atau dapat dikatakan,
pengembangan SDM dapat
menggunakan pendekatan individual ditambah pendekatan
komunitas. Beberapa
pendekatan pembangunan yang
telah menggunakan konsep social capital misalnya adalah pendekatan Community
Development dan Communiy Based Management.
Salah
satu upaya untuk Pengembangan kelmbagaan Kelompok masyarakat salah satunya
perlu ada pengendalian social dari masyarakat itu sendiri maupun pihak
eksternal dalam upaya menjaga keberlangsungan sebuah kelompok dan program
kegiatan yang sedang di laksanakan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua
anggota masyarakat bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan
kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi,
berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan
hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu
bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak
jarang ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku
untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara
rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat berperilaku menyimpang
dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut ( Soekanto, 181:45)
1. Karena kaidah-kaidah yang ada
tidak memuaskan bagi pihak tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan
dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang
jelas perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat
terjadi konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin
untuk mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada
situasi di mana orang memperhitungkan bahwa dengan melanggar atau menyimpangi
sesuatu norma dia malahan akan bisa memperoleh sesuatu reward atau sesuatu
keuntungan lain yang lebih besar, maka di dalam hal demikianlah enforcement
demi tegaknya norma lalu terpaksa harus dijalankan dengan sarana suatu kekuatan
dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing (norma-norma sosial tidak lagi dapat
terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan akan gantinya harus dipertahankan
oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi
kepada mereka-mereka yang terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma
tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan
efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai
bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut
Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing
atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan
sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya
kehidupan masyarakat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah
disepakati bersama. Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial
yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan
seseorang. Juga pengendalian sosial pada dasarnya merupakan sistem dan proses
yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku
sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan
agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk
bertindak sesuai dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan
mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak
menurut kemauan individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk
mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma.
Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita
bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap
kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap
anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi
lainnya.
3.4
. JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian
sosial dimaksudkan agar anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga
tercipta keselarasan dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal
beberapa jenis pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari
mana seseorang melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol sosial yang
dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi ”mengancam sanksi”
atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan terhadap norma dan
nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat preventif dilakukan
sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial yang dilakukan setelah
terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan keadaan agar bisa berjalan
seperti semula dengan dijalankan di dalam versi “menjatuhkan atau membebankan,
sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk mengembalikan keserasian yang
terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau perilaku meyimpang. Untuk
mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan pemulihan. Jadi,
pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang berperilaku
menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus agar dia
mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan usaha yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan
penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha
pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar
suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi
penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah pengawasan yang
didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal) dilaksanakan demi
terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan
tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas, tidak
ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah pengaruh yang datang dari
suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga (institusi) tertentu. Pola-pola
kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak saja mengontrol para anggota
lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh baik atau buruk yang
datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang berpengaruh itu dapat dikenal.
Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan teristimewa ajarannya juga dikenal.
3.5 CARA
DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dapat
dilaksanakan melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi
dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa
paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota
masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan
agar masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok.
Masyarakat dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok
tersebut. Pengendalian sosial pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil
yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga, kelompok bermain, klik )
biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa
ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan pengasingan.
Pengendalian sosial yang
diberikan kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang
tidak bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti
serikat buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat
formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang
standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta
hukuman formal.
3. Kekuatan dan
kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan
dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa
dipergunakan pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam
menyesuaikan diri dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar
proses pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang
diinginkan, perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya
yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi); bisasanya dilakukan
terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram. Sebagian besar nilai dan
norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ; biasanya dilakukan
bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan
kekerasan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar
taat dan patuh tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada
secara berulang -ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam
kesadaran seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya.
Misalnya, bimbingan yang dilakukan terus menerus.
3.5.1 Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut
sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal keyakinan
masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan imbalan kepada
warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan rasa malu
d. Mengembangkan rasa takut
e. Menciptakan sistem hukum
Kontrol
sosial – di dalam arti mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga
masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir
selalu dijalankan dengan bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang
lain:pemberian incentive positif). Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam
sosiologi ialah sesuatu bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh
masyarakat kepada seorang warga masy arakat yang terbukti melanggar atau
menyimpangi keharusan norma sosial, dengan tujuan agar warga masyarakat ini
kelak tidak lagi melakukan pelanggaran dan penyimpangan terhadap norma
tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang
digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi yang bersifat fisik,
2. Sanksi yang bersifat
psikologik, dan
3. Sanksi yang bersifat ekonomik.
Pada
praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa
diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang
hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa
sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan
fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan
malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan
kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara
itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya
juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan
positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan
pekerti-pekertinya yang salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun
incentive itu bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive yang bersifat fisik;
2. Incentive yang bersifat
psikologik; dan
3. Incentive yang bersif
ekonomik.
Incentive
fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan,
andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya
tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi
fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan
sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk,
hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar
sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai
incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik
tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan
berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Apakah
kontrol sosial itu selalu cukup efektif untuk mendorong atau memaksa warga
masyarakat agar selalu conform dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian
menyebabkan masyarakat selalu berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata
tidak. Usaha-usaha kontrol sosial ternyata tidak berhasil menjamin
terselenggaranya ketertiban masyarakat secara mutlak, tanpa ada pelanggaran
atau penyimpangan norma-norma sosial satu kalipun.
Ada lima faktor yang ikut
menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial
oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok
masyarakat itu bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok
masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma
yang berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat
anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas
kontrol sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya
Kelompok Masyarakat Itu Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada
umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas
kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti
warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang
berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada
pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma
kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran,
dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti
keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya,
maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati
norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol
sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2.
Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin
otonom suatu kelompok, makin efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin
sedikitlah jumlah penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi di atas norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi
Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat
dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial
efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan
terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri
dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial
bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
1. Beragam-Tidaknya
Norma-norma yang Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin
beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila
antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan
bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang
berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi
eksperimental yang dilakukan oleh Meyers. Dihadapkan pada sekian banyak
norma-norma yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu
warga masyarakat lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang
tertib, konsisten, dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi
kepentingan pribadi) sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang
konsekuen pada norma yang lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas
bahwa masyarakat tidak akan mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol
sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat
Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin
besar suatu kelompok masyarakat, semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi
dan saling mengenali sesama warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di
balik keadaan anomie (keadaan tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah
individu-individu untuk berbuat “semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh
tanpa daya.
Hal
demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada
masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial
lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik
sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas
norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang
kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari
kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu
selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal
sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan
individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan
diharuskan.
3.1.
Toleran-Tidaknya Sikap Petugas
Kontrol Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering
kali kontrol sosial tidak dapat terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan
kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, melainkan karena sikap
toleran (menenggang) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi. Mengambil sikap toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering
membiarkan begitu saja sementara pelanggar norma lepas dari sanksiyang
seharusnya dijatuhkan. Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada
faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya pelanggaran
norma itu;
b. Keadaan situasi sosial pada
ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status dan reputasi individu
yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya nilai
moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau
pengendalian sosial mengacu kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu
masyarakat untuk mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam
relnya. Tidak ada masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial. Bentuk
kontrol sosial atau cara-cara pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara
pengendalian masyarakat dapat dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara
koersif. Cara persuasif terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada
usaha untuk mengajak atau membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan
pada kekeraan atau ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan
fisik. Menurut Soekanto (1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa
tergantung pada situasi yang dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun
jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam
masyarakat yang makin kompleks dan modern, usaha
penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan
kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat itu sendiri.
Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin modern, tak pelak
harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas kontrol sosial. Di
dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim
dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat,
tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya. “Disarikan dari : “Berkenalan dengan
Sosiologi, M. Sitorus,Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, J.dwi
Narwoko-Bagong Suyatno (ed.)“
3.6.
Konsep Pelatihan
Pelatihan Fasilitasi Pengembangan Kelompok
Masyarakat bidang kelautan dan perikanan dilaksanakan dengan pola andragogi
yaitu pendidikan orang dewasa yang menekankan pada saling berbagi pengalaman.
Peserta dilibatkan untuk mampu menyelesaikan permasalahan secara bersama.
Tujuan utama dari pelatihan yaitu
mengembangkan kelompok masyarakat bidang kelautan dan perikanan menjadi lembaga
yang mempunyai tata kelola organisasi yang baik guna mempercepat proses
kemandirian dan memberikan pengetahuan dan ketrampilan pada kelompok /
masyarakat pelaku usaha bidang kelautan dan perikanan agar mampu melakukan perbaikan kompetansi dan
meningkat kapasitasnya.
Dari pelatihan yang dilakukan diharapkan akan memberikan manfaat bagi
peserta/ warga masyarakat sasaran dalam meningkatkan kapasitas mereka sehingga
menjadi personal yang tangguh yang sanggup . Adapun dari aspek aspek yang
diharapkan akan meningkat antara lain dari sisi :
Kongnitif
1.
Meningkatkan
pemahaman konsep pemberdayaan masyarakat pesisir PNPM MKP 2010 dan Kebijakan
Kelautan dan Perikanan
2.
Meningkatkan pengetahuan dalam mengelola
kelompok
3.
Meningkatkan pemahaman kelompok terhadap
tertib administrasi organisasi maupun keuangan
Afektif
1.
Meningkatkan respon terhadap lingkungan sekitar/kepedulian
yang semakin baik terhadap ekosistem sekitar pesisir dan ekosistem perikanan.
2.
Meningkatkan rasa kepedulian kelompok terhadap masyarakat kurang mampu terjadinya
refleksi diri dalam menjalankan program kegiatan untuk kemamkmuran anggota dan
masyarakat.
3.
Meningkatkan rasa empati dan simpati
dari semua elemen masyarakat terhadap warga
kurang mampu sehingga terjalin komunikasi yang efektif antara obyek dan
subyek program kegiatan sehingga tercipta gagasan/solusi pemecahan masalah yang
dihadapi sesuai dengan kebutuhan.
Psikomotorik
1.
Meningkatkan motivasi dalam menjalankan
program kegiatan sehingga mampu meningkatkan kemampuan dalam pengambilan
keputusan
2.
Meningkatkan kemampuan kerjasama tim
/kelompok dalam menghadapi permasalahan dan menyelesaikan masalah dalam rangka
mencapai tujuan yang ditetapkan.
3.
Meningkatkan kemampuan berkomunikasi
yang baik, efektif dalam rangka membina kerjasama dengan berbagai pihak ,
mengatur strategi mencapai tujuan bersama dan tertib organisasi.