Konsep Penanganan Kumuh, sebagai Peluang dan Tantangan
U
|
rgensi dari Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
(P2KKP) dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia
yang bermukim di wilayah perkotaan mengalami persoalan ketidakberarturan
penggunaan lahan, yang kurang optimal dimanfaatkan secara layak dan adanya
kawasan permukiman yang ilegal, karena tingkat pertumbuhan penduduk serta
terjadinya urbanisasi cukup tinggi. Di mana salah satu faktornya, sektor-sektor
ekonomi tumbuh pesat khususnya di perkotaan menjadi wilayah-wilayah yang penuh
dengan “gula-gula”, yang membuat setiap orang ingin mencari peruntungan dalam
rangka menyambung kehidupan lebih baik. Sekalipun untuk menggapai harapan
tersebut berada dalam posisi yang kurang menguntungkan juga. Akhirnya kebutuhan
akan tempat tinggal semakin meningkat. Sementara ketersediaan perumahan
terbatas dan tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan
urbanisasi. Plus, pengawasan dari para pihak yang berkompoten terkait dengan
tata ruang wilayah dan tata guna lahan masih kurang. Akhirnya bermunculan
permukiman-permukiman baru yang kurang layak dan melanggar aturan, seperti
menempati lahan secara ilegal dan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pemerintah, melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional (PPN) atau Bappenas, mencatat luasan kawasan kumuh di perkotaan seluruh
Indonesia mencapai angka 38.431 Hektare (Ha). Ditambah, target RPJMN 2015-2019,
melatarbelakangi lahirnya program ini.
Penulis akan memulai dari isu kota
dan kawasan kumuh, karena memang hal inilah salah satu yang menjadi isu global
saat ini. Kota-kota di dunia, termasuk Indonesia menghadapi berbagai tantangan
pembangunan yang kompleks. Lebih kurang 50% penduduk dunia saat ini tinggal di
perkotaan. Tantangan utama yang dihadapi kota-kota di seluruh dunia adalah
pesatnya perkembangan kota yang belum didukung dengan kesiapan dukungan
kawasan, sarana, prasana dan utilitas serta juga kesiapan pemangku kepentingan
terkait. Data BPS mencatat laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini
mencapai sekitar 1,49% per tahun dan diperkirakan pada tahun 2035 Jumlah penduduk
di Indonesia mencapai sekitar 305,6 juta jiwa, dan dari jumlah penduduk yang
sedemikian, 66% penduduk berada di wilayah Perkotaan. Hal ini terjadi antara
lain sebagai dampak dari adanya urbanisasi yang tidak berhenti, bahkan dalam
bahasa yang cenderung satir disebut sebagai “sustainable urbanization”.
Persoalan perkembangan kota yang
seperti itu dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Sebenarnya isu tersebut telah lama diidentifikasi negara-negara di dunia,
antara lain melalui Konferensi Habitat II tahun 1996 di Istanbul, Turki, yang
mengambil tema “Permukiman Berkelanjutan dalam Dunia yang Semakin Mengkota” (Sustainable
Human Settlements in an Urbanizing World). Pada saat itu disadari betul
bahwa persoalan urbanisasi adalah persoalan umum di negara-negara yang sedang
berkembang. Kota memiliki daya tarik tersendiri bagi para kaum urban. Urbanisasi
bagaikan dua sisi mata uang, jika dilihat dari kacamata positif maka itu dapat
berarti modal bagi perekonomian dan juga perkembangan kota ke arah yang lebih
baik, tapi jika tidak dikelola dengan baik maka akan banyak persoalan muncul,
mulai dari meningkatnya angka pengangguran, kriminalitas, kemacetan, banjir dan
juga kekumuhan baru.
Dampak yang mungkin terjadi sebagai
akibat dari ketidakseimbangan antara daya dukung kota dengan pertumbuhan
penduduk seperti itu salah satunya adalah potensi berkembangnya permukiman
kumuh di perkotaan. Saat ini Data Direktorat Pengembangan Permukiman (Bangkim)
Ditjen Cipta Karya Kementerian PU-PERA mencatat sekitar 37.407 Ha di lebih
kurang 147 kabupaten/kota tercatat sebagai kawasan kumuh. Demikian halnya data
BPS mencatat rumah tangga kumuh perkotaan 12,1% atau 9,6 juta rumah tangga
(Susenas, 2013).
Program P2KKP dilaksanakan di
Provinsi Papua Barat sebagai kelanjutan dari Program PNPM Mandiri Perkotaan,
yang wilayah sasarannya meliputi Kabupaten Manokwari di 10 kelurahan/kampung di
Distrik Manokwari Barat. Luas kawasan kumuh sesuai SK Bupati Manokwari nomor 96
Tahun 2015 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh adalah
sebesar 94,21 Ha. Sementara di Kota Sorong, ada 41 kelurahan, dengan luas
kawasan kumuh, sesuai SK Walikota Sorong nomor 845/346/Tahun 2014 tentang
Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, adalah 51,7 Ha di 17
kawasan prioritas.
Permukiman sering disebut perumahan,
dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing, yang
dalam bahasa Inggris artinya adalah perumahan. Sedangkan kata “human
settlement” artinya permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah
atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan
menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land
settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan
pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman
menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu
manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya
saling melengkapi (Kurniasih, 2007).
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir
semua kota-kota besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang
lainnya. Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup
tiga segi, yaitu,pertama, kondisi fisiknya. Kondisi fisik tersebut
antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas
konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi
umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan
baik. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim
di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di
kawasan permukiman kumuh, antara lain, mencakup tingkat pendapatan rendah,
norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang
antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga,
dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan
kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan
perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.Kawasan
permukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus diatasi. Pertumbuhan
penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan permukiman.
Sedangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan pengelola kota akan
menentukan kualitas permukiman yang terwujud. Permukiman kumuh adalah produk
pertumbuhan penduduk kemiskinan dan kurangnya pemerintah dalam mengendalikan
pertumbuhan dan menyediakan pelayanan kota yang memadai.
Sedangkan Yayan Supriatna
mengatakan, elemen sosial masyarakat sebagai dasar pembangunan
permukiman, pertama, struktur. Adalah elemen dasar yang membentuk
suatu keteraturan dari kehidupan sosial (social life). Struktur adalah
setiap tindakan atau alat yang digunakan pihak yang berkuasa untuk mengatur,
memerintah sampai mengeksploitasi. Struktur sosial adalah pola hubungan antara
kelompok sosial, memiliki sifat mengatur, menghambat dan memberi kendala tetapi
sekaligus memberi fasilitas pada tindakan manusia (aktor). Kedua,
kultur. Sistem nilai, norma, sistem kepercayaan dan semua kebiasaan serta adat
istiadat, yang telah mendarah daging (internalized) pada sistem
kepribadian individu/masyarakat sehingga memiliki “kekuatan” membentuk dan
menjadi pedoman pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari dalam). Ketiga,
proses sosial. Adalah arena yang dapat menjadi sumber perubahan struktur maupun
kultur. ”Social order is a negotiated order”. Negosiasi yang dinamis dan
kreatif antaranggota masyarakat, mengembangkan kualitas dan kuantitas ruang dan
kesempatan untuk berlangsungnya proses sosial yang dinamis. (Aay)
No comments:
Post a Comment