Wednesday 5 October 2016

MEDIA MUDA NUSANTARA :Konsep Penanganan Kumuh, Peluang dan Tantangan


Konsep Penanganan Kumuh, sebagai Peluang dan Tantangan

U
rgensi dari Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan (P2KKP) dilatarbelakangi oleh fakta bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah perkotaan mengalami persoalan ketidakberarturan penggunaan lahan, yang kurang optimal dimanfaatkan secara layak dan adanya kawasan permukiman yang ilegal, karena tingkat pertumbuhan penduduk serta terjadinya urbanisasi cukup tinggi. Di mana salah satu faktornya, sektor-sektor ekonomi tumbuh pesat khususnya di perkotaan menjadi wilayah-wilayah yang penuh dengan “gula-gula”, yang membuat setiap orang ingin mencari peruntungan dalam rangka menyambung kehidupan lebih baik. Sekalipun untuk menggapai harapan tersebut berada dalam posisi yang kurang menguntungkan juga. Akhirnya kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat. Sementara ketersediaan perumahan terbatas dan tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Plus, pengawasan dari para pihak yang berkompoten terkait dengan tata ruang wilayah dan tata guna lahan masih kurang. Akhirnya bermunculan permukiman-permukiman baru yang kurang layak dan melanggar aturan, seperti menempati lahan secara ilegal dan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Pemerintah, melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas, mencatat luasan kawasan kumuh di perkotaan seluruh Indonesia mencapai angka 38.431 Hektare (Ha). Ditambah, target RPJMN 2015-2019, melatarbelakangi lahirnya program ini.
Penulis akan memulai dari isu kota dan kawasan kumuh, karena memang hal inilah salah satu yang menjadi isu global saat ini. Kota-kota di dunia, termasuk Indonesia menghadapi berbagai tantangan pembangunan yang kompleks. Lebih kurang 50% penduduk dunia saat ini tinggal di perkotaan. Tantangan utama yang dihadapi kota-kota di seluruh dunia adalah pesatnya perkembangan kota yang belum didukung dengan kesiapan dukungan kawasan, sarana, prasana dan utilitas serta juga kesiapan pemangku kepentingan terkait. Data BPS mencatat laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai sekitar 1,49% per tahun dan diperkirakan pada tahun 2035 Jumlah penduduk di Indonesia mencapai sekitar 305,6 juta jiwa, dan dari jumlah penduduk yang sedemikian, 66% penduduk berada di wilayah Perkotaan. Hal ini terjadi antara lain sebagai dampak dari adanya urbanisasi yang tidak berhenti, bahkan dalam bahasa yang cenderung satir disebut sebagai “sustainable urbanization”.
Persoalan perkembangan kota yang seperti itu dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Sebenarnya isu tersebut telah lama diidentifikasi negara-negara di dunia, antara lain melalui Konferensi Habitat II tahun 1996 di Istanbul, Turki, yang mengambil tema “Permukiman Berkelanjutan dalam Dunia yang Semakin Mengkota” (Sustainable Human Settlements in an Urbanizing World). Pada saat itu disadari betul bahwa persoalan urbanisasi adalah persoalan umum di negara-negara yang sedang berkembang. Kota memiliki daya tarik tersendiri bagi para kaum urban. Urbanisasi bagaikan dua sisi mata uang, jika dilihat dari kacamata positif maka itu dapat berarti modal bagi perekonomian dan juga perkembangan kota ke arah yang lebih baik, tapi jika tidak dikelola dengan baik maka akan banyak persoalan muncul, mulai dari meningkatnya angka pengangguran, kriminalitas, kemacetan, banjir dan juga kekumuhan baru.

Dampak yang mungkin terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara daya dukung kota dengan pertumbuhan penduduk seperti itu salah satunya adalah potensi berkembangnya permukiman kumuh di perkotaan. Saat ini Data Direktorat Pengembangan Permukiman (Bangkim) Ditjen Cipta Karya Kementerian PU-PERA mencatat sekitar 37.407 Ha di lebih kurang 147 kabupaten/kota tercatat sebagai kawasan kumuh. Demikian halnya data BPS mencatat rumah tangga kumuh perkotaan 12,1% atau 9,6 juta rumah tangga (Susenas, 2013).
Program P2KKP dilaksanakan di Provinsi Papua Barat sebagai kelanjutan dari Program PNPM Mandiri Perkotaan, yang wilayah sasarannya meliputi Kabupaten Manokwari di 10 kelurahan/kampung di Distrik Manokwari Barat. Luas kawasan kumuh sesuai SK Bupati Manokwari nomor 96 Tahun 2015 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh adalah sebesar 94,21 Ha. Sementara di Kota Sorong, ada 41 kelurahan, dengan luas kawasan kumuh, sesuai SK Walikota Sorong nomor 845/346/Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, adalah 51,7 Ha di 17 kawasan prioritas.
Permukiman sering disebut perumahan, dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing, yang dalam bahasa Inggris artinya adalah perumahan. Sedangkan kata “human settlement” artinya permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih, 2007).
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, yaitu,pertama, kondisi fisiknya. Kondisi fisik tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh, antara lain, mencakup tingkat pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.Kawasan permukiman kumuh dianggap sebagai penyakit kota yang harus diatasi. Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mendorong pertumbuhan permukiman. Sedangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kemampuan pengelola kota akan menentukan kualitas permukiman yang terwujud. Permukiman kumuh adalah produk pertumbuhan penduduk kemiskinan dan kurangnya pemerintah dalam mengendalikan pertumbuhan dan menyediakan pelayanan kota yang memadai.
Sedangkan Yayan Supriatna mengatakan, elemen sosial masyarakat sebagai dasar pembangunan permukiman, pertama, struktur. Adalah elemen dasar yang membentuk suatu keteraturan dari kehidupan sosial (social life). Struktur adalah setiap tindakan atau alat yang digunakan pihak yang berkuasa untuk mengatur, memerintah sampai mengeksploitasi. Struktur sosial adalah pola hubungan antara kelompok sosial, memiliki sifat mengatur, menghambat dan memberi kendala tetapi sekaligus memberi fasilitas pada tindakan manusia (aktor). Kedua, kultur. Sistem nilai, norma, sistem kepercayaan dan semua kebiasaan serta adat istiadat, yang telah mendarah daging (internalized) pada sistem kepribadian individu/masyarakat sehingga memiliki “kekuatan” membentuk dan menjadi pedoman pola perilaku dan sikap anggota masyarakat (dari dalam). Ketiga, proses sosial. Adalah arena yang dapat menjadi sumber perubahan struktur maupun kultur. ”Social order is a negotiated order”. Negosiasi yang dinamis dan kreatif antaranggota masyarakat, mengembangkan kualitas dan kuantitas ruang dan kesempatan untuk berlangsungnya proses sosial yang dinamis. (Aay)

No comments:

Post a Comment