Thursday 4 March 2010

MEDIA MUDA NUSANTARA : Batik dalam Tatacara Pernikahan Jawa


Kain batik memang tak asing lagi bagi masyarakat Jawa terutama Jogja. Dalam berbagai acara, kain-kain ini sering menjadi pakaian resmi yang menunjukkan kekhasan daerah, begitu juga dalam upacara-upacara adat tertentu seperti perkawinan. Kain-kain bermotif unik dan tradisional ini dikenakan oleh hampir seluruh keluarga dan kerabat untuk menyambut hari bahagia, bersatunya dua manusia.
Sebelum dipersatukan dalam ikatan perkawinan yang sering disebut dengan istilah ijab, kedua calon pengantin dipingit (tidak diijinkan untuk bertemu). Sehari sebelumnya kedua mempelai harus menjalani upacara siraman (mandi kembang) di tempat masing-masing. Menurut salah satu empu rias pengantin, R. Sri Supadmi, kain yang digunakan dalam upacara ini tak boleh sembarangan. "Mereka harus menggunakan kain putih. Tetapi karena kain ini tembus pandang maka di dalamnya harus dilapisi batik," ungkap seorang ibu yang pernah menjadi penata rias di keraton selama pemerintahan HB IX ini.
Motif batik yang digunakan dalam upacara ini juga harus dipilah-pilah. Pada dasarnya banyak motif seperti sidoasih dan sidomukti yang dapat digunakan, tetapi ada beberapa motif yang menurut Bu Padmi memang menjadi pantangan karena maknanya yang kurang bagus. Motif itu antara lain parang rusak dan parang barong yang dipercaya dapat merusak.
Setelah disiram oleh orang tua dan penata rias yang juga menjadi dukun manten, calon pengantin perempuan dipersiapkan untuk menjalani malam midodareni. Ia kemudian harus mengenakan batik motif grompol, bermakna mengumpulkan. Pada malam midodareni, selain dirias dan mengenakan batik motif truntum yang bermakna tumbuh, pengantin perempuan sebenarnya tak boleh keluar kamar sama sekali. Namun menurut Bu Padmi yang banyak meraih penghargaan dari departemen kebudayaan ini, semua telah banyak berubah sekarang.
Perubahan itu bukan hanya terlihat dari pengantin yang tak lagi betah berada di kamar kemudian jalan-jalan keluar dan menemui tamu, tetapi juga pada pemakaian motif batik. Pada malam midodareni sekarang ini pengantin diperbolehkan untuk mengenakan motif lain seperti sidomukti dan semen (yang disamaartikan dengan semi). Selain itu juga sering terjadi pergeseran pemakaian motif batik pada orang tua mempelai yang menggunakan truntum yang diambil dari kata tumaruntum atau bertumbuh.
Pada waktu mengikat janji pernikahan atau ijab, motif batik yang digunakan juga fleksibel. Mereka dapat mengenakan berbagai motif entah itu sido mukti, sido asih maupun semen. Parang rusak, parang barong dan kawung besar tetap menjadi pantangan. Hal ini karena parang rusak berkonotasi negatif, parang barong hanya diperkenakan untuk para raja, sementara kawung besar adalah milik ahli agama.
Diakui oleh Supadmi yang menjadi perias bersama suaminya, R. Suwardanidjaja, bahwa memang tak semua orang tau akan hal ini. Untuk itulah setelah menjuarai lomba rias pengantin tiga kali berturut-turut pada tahun 1979, 1981, dan 1983, ia bersama suami kemudian membuat sebuah buku "Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta" yang diterbitkan oleh gramedia.
Cara lain yang ditempuh oleh wanita yang terilhami untuk menjadi perias sejak kecil ini guna melestarikan budaya pernikahan adalah dengan membuka kursus bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang perias pengantin. Selain belajar merias mulai dari membuat paes yang benar, peserta juga akan diajari menjalankan tata upacara pernikahan dengan berbagai urutan dan makna serta cara pelaksanaannya.

No comments:

Post a Comment